Bendungan Lama Pamarayan, Monumen Megah Warisan Kolonial yang Menaklukkan Waktu

Bendungan Lama Pamarayan, Monumen Megah Warisan Kolonial yang Menaklukkan Waktu

Potret Bendungan Pamarayan pada masa lalu.-@muhammad_abduh_jamhari-instagram.com

INFORADAR.ID - Ah, Bendungan Lama Pamarayan, sebuah mahakarya monumental yang melintasi batas-batas desa dan kecamatan, membentang megah di Desa Pamarayan dan Desa Panyabrangan, di Kabupaten Serang, Banten

Dengan panjang yang menakjubkan, mencapai 191,65 meter, Bendungan Lama Pamarayan ini adalah gabungan dari keajaiban teknik dan keindahan arsitektur, yang meliputi bangunan utama, ruang kontrol yang mengesankan, bendungan sekunder, ruang lori yang memikat, jembatan megah, serta rel lori yang membelah lanskap seperti garis takdir.

Pernah dinobatkan sebagai bendungan terbesar di Indonesia, Bendungan Lama Pamarayan memegang gelar terhormat ini selama beberapa dekade sejak kelahirannya pada tahun 1925, sebelum akhirnya menyerahkan mahkota kepada Bendungan Jatiluhur pada tahun 1962.

Sebuah bukti sejarah yang tak terbantahkan, bendungan ini adalah warisan monumental dari masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sebuah land mark yang menjadi saksi bisu dari politik dan pembangunan di era itu, terutama di Banten.

BACA JUGA:Situs Banten Girang, Wisata Sejarah Banten Zaman Baheula yang Perlu Perhatian

Sejarah Bendungan Lama Pamarayan

Kisah di balik pembangunan bendungan ini dimulai dari sebuah artikel yang mengguncang nurani, "Een Eereschuld" oleh Conrad Theodore van Deventer pada tahun 1889.

Artikel ini menyerukan hutang kehormatan yang harus dibayar Belanda kepada Hindia, negeri yang kekayaannya telah mengalir deras ke Eropa, membawa kemakmuran yang luar biasa.

Van Deventer bersama Pieter Brooshooft mengobarkan semangat Politik Etis atau Politik Balas Budi, menggerakkan roda pembangunan yang pada akhirnya melahirkan Bendung Pamarayan.

Banten di penghujung abad ke-19 adalah panggung dari serangkaian pemberontakan heroik melawan kolonial.

Nama Pamarayan, seperti yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo dalam "Pemberontakan Petani Banten 1888", adalah simbol dari keberanian dan semangat juang para jawara. 

Geger Cilegon dan pemberontakan lainnya dipandang sebagai dampak dari kemiskinan yang menghimpit, dan bendungan ini dibangun sebagai upaya monumental untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pertanian.

Ide pembangunan bendungan ini mulai terwujud setelah jalur kereta api Rangkasbitung-Merak selesai pada tahun 1905.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: