Pak Dirga Melempar Kopiahnya
--
Sohib sama halnya sepertiku. Ia datang bukan karna menyukai Pak Dirga. Berbeda dengan Anah, wanita tamatan sekoah menengah pertama itu benar-benar fanatik dengan sosok Pak Dirga.
Jika ada orang yang membantah, setiap kalimat yang keluar dari mulut Pak Dirga, Anah selalu memdukung Pak Dirga, membenarkannya, hingga lawan bicaranya mual mendengar ocehan Anah.
Jika melihat sosok Pak Dirga memang siapa saja tentu akan suka. Pria muda berkulit putih bersih itu memang sangat tegap ketika berdiri. Baju koko putih berlengan panjangnya selalu terkancing, tidak sekalipun pernah dilipat. Kopiah hitamnya berkilauan ketika terkena sinar matahari.
Dengan kaca matanya ia terkesan memiliki kecerdasan yang luhur. Kaka-katanya juga santun jika berbicara dihadapan orang banyak, ia juga selalu tersenyum. Kata Anah Pak Dirga juga wangi, tapi untuk hal ini aku tidak tahu pasti karena belum pernah berdekatann dengannya. Tapi kata Anah dia benar-benar wangi, Anah pernah bersalaman dengannya dan meminta foto bersama.
Suara gendang berhenti. Sosok Luna juga sudah lenyap di atas panggung. Kini para penontoh tertawa, si pemandu acara yang gemulai kembali ke pangung. Satu persatu orang-orang penting menyusul naik tanpa dikomando.
Semuanya tersenyum, melambaikan tangan ke segala arah. Kini mikrofon dipegang Pak Rahmat. Setelah menyapa orang-orang yang datang ke lapangan, sosok penting di provinsi itu lalu memanggil Pak Dirga dengan lantang!
Diiringi teriakan khalayak, sosok yang ditunggu-tunggu muncul setengah berlari, dan langung berdiri di sisi depan panggung. Orang-orang yang berdiri paling depan berusaha mengajaknya bersalaman. Tapi Pak Dirga hanya melambai-lamnaikan tangannya.
Pria berkacamata itu lalu mulai berbicara. Suaranya tegas menyala-nyala. Membakar gairah kerumunan di hadapannya. “Bersama saya dan wakil saya, kita wujudkan provinsi yang makmur! Kaya alamnya, sejahtera rakyatnya!” Semuanya bersorak! Berteriak! Begitu juga dengan Pak Malik hingga urat-urat lehernya tertarik dan menyembul.
“Kita pasti menang!” Seru Pak Dirga sembari mengepalkan tangannya di udara. Anah ikut berteriak dan meniru gerakannya.
Sejurus kemudian Pak Hasan melemari Pak Dirga dengan kerikil hingga membuat kekacauan di panggung. Orang-orang di atas panggung merunduk, melindungi kepala mereka dengan tangan, mengindari kerikil yang berterbangan.
Beberapa ibu-ibu berteriak, gadis remaja menjerit-jerit. Lima orang lelaki dengan sigap berusaha menangkap dan menenangkan Pak Hasan. Barang kali itu panitia. Mereka berseragam kaus berkerah dengan gambar Pak Dirga di punggungnya.
Mereka menggaruk Pak Hasan ke belakang panggung. Rasa penasaran menuntun langkahku untuk mengikuti. Begitu juga Anah. Langkah kami terhenti. Pria malang itu dibawa ke area terlarang bagi orang umum.
Kami saling menatap. “Katanya kemarin dia juga melempari orang-orang di tempat sabung ayam, saat ada yang berteriak menang,” ucap Anah lemah.
Sekedipan mata kami melihat Pak Dirga keluar dari tenda putih diikuti para ajudannya. Dengan tergesa pria itu menuju mobil hitam mewahnya. Saat hendak masuk ia berbalik. “Bangsat! Kenapa caleg gila kalian biarkan ada di sini!” Wajah Pak Dirga merah padam. Kancing lengan bajunya ia lepas, lalu digulungnya hingga sepertinga. Kopiah hitamnya ia lempar sekuat-kuatnya ke tubuh pengawalnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: