Pak Dirga Melempar Kopiahnya

Pak Dirga Melempar Kopiahnya

--

Gadis itu memang sepadan dengan pengakuan Sohib, “Luna itu magnet dan para lelaki adalah besi. Setiap lelaki pasti akan membuat alasan untuk datang tiap kali Luna naik panggung.”

Kini Luna sedang asyik bernyanyi. Dan tidak mempersoalkan bagaimana mata para lelaki melihatnya; seperti serigala yang sedang menatap kelinci untuk dimangsa. Luna berjoged layaknya orang tersengat litrik, jingkrak-jingkrak dari ujung panggung ke ujung lainnya. 

Dengan baju yang terbuka dari bahu, punggung hingga dadanya yang bernas, yang memberi daya pikat karena kontras degan warna rambutnya yang pekat dengan kulit Luna yang putih dan mulus. Tungkainya jenjang. 

Ketika berjalan atau bergerak rok yang mengantung jauh dari lututnya terangkat. Semua orang yang menontonya bisa dengan leluasa melihat pahanya yang bersih dan berkilauan karena berkeringat. 

Kerlip titik-titik keringat juga menempel di pipi, leher, dada dan pundaknya yang diterpa sinar matahari, membuat Luna tambah indah saja. Barangkali ini jugalah alasan anak-anak dilarang datang ke sini.

Sohib dan Anah mendekat padaku. Wajah Sohib begitu semringah dengan jari menunjuk-nunjuk ke arah panggung. “Ini loh Luna yang kumaksud waktu itu.” Aku hanya tersenyum.

“Aku sudah tahu, dari pembawa acara yang memanggilnya.”

“Uh, padahal kita sudah menunggu satu jam lebih, yang nongol malah cewek nggak jelas!” Gerutu Anah sembari mengibas-ngibaskan kipas di wajahnya. Pandangannya tidak menatap panggung tapi ke arah lain. 

“Lebih baik ini dari pada orang yang kamu tunggu-tunggu itu. Cuma bisa teriak-teriak. Kalau Luna setidaknya suaranya merdu, musiknya juga asyik buat joged-joged,” sela Sohib.

“Tapi kepalanya kosong. Modalnya cuma baju seksi. Paha mulus dan dada montok.” 

“Tetap saja aku suka, dari pada melihat jagoan yang kamu tunggu-tunggu itu.”

“Najis! Dasar laki-laki, kalau kamu tidak suka kenapa datang ke sini?”

“Aku sudah diberi uang oleh pak Malik, bisa kena omel jika aku tidak datang.” Berbarengan dengan ucapan Sohib, aku melihat Pak Malik dari kejauhan sedang ngibing berkerumun dengan koleganya, sembari mengacung-acungkan kedua lengannya, jemarinya membentuk simbol angka tiga di udara dengan menekuk jari tengah dan jari manisnya.

“Huh, dasar!” Janda anak satu yang dulu menikah sebelum genap berumur dua puluh tahun itu menggantungkan kalimatnya. Syukurlah Sohib tidak menimpalinya lagi. 

Jika dibalas, aku prediksi perdebatan ini baru akan rampung jika Pak Dirga muncul. Sebab saat itu Anah akan mengalihkan pandangannya ke panggung dan fokus. Mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari Pak Dirga. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: