Pak Dirga Melempar Kopiahnya

Pak Dirga Melempar Kopiahnya

--

Sohib sama seperti kebanyakan orang-orang yang datang ke lapangan hari ini. Pria lulusan perguruan tinggi negeri yang masih menganggur itu datang sebab sudah diberi uang. Berbeda dengan Pak Hasan yang datang dengan sungguh-sungguh. 

Lelaki matang itu datang berjalan kaki, sedang yang lainnya berkendara, pakai motor atau seperti aku, Sohib, dan Anah naik bus yang sudah disiapkan Pak Malik, tokoh masyarakat di kampungku. 

Banyak orang yang sering mengolok-olok Pak Hasan di jalan, warung dan di mana saja. Termasuk Sohib “Dia itu goblok, menyia-nyiakan kesempatan punya uang banyak,” katanya satu hari saat kami memancing di Sungai Cibanten. 

Selain itu, “Dia itu lelaki yang tidak bersyukur, sudah jadi orang kaya dengan harta melimpah tapi malah dibuang-buang untuk hal yang tak pasti,” kata Deni, pria seusiaku. Dan banyak lagi ucapan-ucapan tidak sopan dan kotor yang disematkan untuk Pak Hasan.   

Aku juga sebenarnya bisa saja ikut mengolok-olok Pak Hasan. Aku yakin dia tidak akan naik pitam. Tapi bapak bilang, “jangan ikut-ikutan! Kasihan dia, sudah tidak punya siapa-siapa, istri bersama anaknya menghilang entah di mana.” Selain itu aku memang tidak suka mengolok-olok orang. Apa lagi kepada mereka yang lebih tua.  

Mata Pak Hasan kini setajam mata elang, melihat orang-orang yang berdiri di atas panggung. Ia berdiri mematung, tanpa sedikit pun menghiraukan orang yang berlalu-lalang. 

Entah apa yang ada di kepalanya. Andai mereka menyadarinya pastilah mereka akan ketakutan. Tangan pria itu mengepal kuat. Urat-uratnya menyembul. Meski bukan berasal dari kampungku Pak Hasan dulu adalah orang terkenal sekabupaten. 

Aku rasa hampir semua orang tahu dia. Tapi alasan Pak Hasan datang ke lapangan ini aku sendiri tidak tahu pasti. Namun barangkali karena keramaian. Ia pasti bosan dengan sepi dan kesendiriannya.

Tapi siapa yang peduli juga dengannya, dia mau datang atau tidak tampaknya bukan urusan orang-orang. Kedatangan Pak Hasan ke sini mungkin saja dianggap menambah kesemarakan. Meski tubuhnya sedikit agak kotor. 

Dan memang tidak ada juga larangan padanya untuk datang. Bahkan anak-anak saja banyak yang berlarian di lapangan ini. Mungkin cuma aku yang peduli hingga memikirkannya sejauh ini.

Sosok yang ditunggu jubelan orang yang ruah di lapangan ini belum juga tiba, padahal hampir seluruh dari mereka sudah hampir kuyup bersimbah peluh. Termasuk aku yang sudah tidak nyaman memakai kaus pemberian Pak Malik. Gatal rasanya. 

Aku hanya bisa menghibur diri, melihat riasan ibu-ibu yang sudah porak-poranda. Bedaknya lumer bercampur dengan blush on, alis mereka juga meleleh. Tak ada beda dengan para gadis remaja. Tangan mereka tidak henti-henti mengipasi wajah. Itu lucu bagiku.

Sesosok biduan dengan balutan kain merah cerah lalu muncul setelah dipanggil pemandu acara. Rupanya itu Luna, artis lokal yang lagi naik daun, dan sedang banyak diperbincangkan bapak-bapak dan para bujang. 

Baru sekali ini aku melihatnya secara langsung. Pantaslah gadis itu jadi tajuk utama setiap perbincangan, dan menjadi rujukan setiap lelaki yang sedang menggambarkan seorang wanita cantik. “Pokoknya seperti Luna,” kata mereka biasanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: