Pesan untuk Ray

Pesan untuk Ray

--

Seusai pengajian, biasanya Ray berdiri di seberang jalan, melemparkan senyum dari kejauhan yang dibalas dengan pemandangan indah wajah berbinar Aisyah di antara jamaah lainnya. “Anjay, cantik banget dah, kagak nyesel gue jauh-jauh ke sini,” gumamnya sambil mesem-mesem.

Ya, jarak tempuh Jakarta-Serang seolah terbayarkan dengan pertemuan singkat itu. Baginya, mengunjungi tanah jawara jauh lebih mengasyikan ketimbang seharian menikmati berbagai wahana permainan di Ancol. “Jika kamu benar-benar mencintaiku, pantaskanlah dirimu di hadapan Tuhan dan kedua orangtuaku,” begitulah Aisyah berpesan pada pertemuan singkat di suatu senja.

Pada detik itu, ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya, kebahagiaan yang sungguh sangat sulit dideskripsikan. Ray hanya terdiam, lidahnya kelu, sorot matanya tak bisa lepas dari wanita yang gegas pergi sembari menundukkan wajah. 

Namun saat-saat indah itu menyerupai senja berganti malam, cepat dan fana. Deritanya kini bertambah, saat melihat apa yang baru saja terjadi, Rani benar-benar membuatnya semakin gundah. Ia memikirkan ungkapan apa yang tepat untuk dirinya, sejahat atau sebodoh itu hingga tak menyadari kebaikan Rani selama ini ternyata didasari sesuatu yang jauh di luar dugaan.

Notifikasi di ponselnya berbunyi, dibacanya pesan WhatsApp. Tante Dewi, janda anak satu yang tinggal di kos dekat kampus Ray di Jakarta itu kesepian. Ray biasa menerima jasa pijatnya jika sedang butuh. Tentu bukan hanya sekadar memijat, lebih daripada itu. 

“Ke mana aja, A? Udah seminggu enggak main ke sini, Tante kangen, nih.”

Ray mengusap mata, diraihnya jaket jeans yang menggantung di pintu. Mobilnya melesat membelah jalan perkampungan. Azan berkumandang, orang-orang berduyun-duyun ke masjid, namun tidak dengan Ray, sedan hitam itu terus melaju, meninggalkan luka dan air mata.

Jakarta sore itu diguyur hujan, jalanan basah, kemacetan di mana-mana, beberapa pengendara roda dua dan pekerja berteduh di pinggir jalan. Namun Ray terus melaju dengan kerinduannya pada perempuan yang selalu hadir di setiap kegamangannya.

Diparkirnya sedan hitam itu di sebuah kawasan kos-kosan pinggiran kota. Bagi Ray, sebenarnya mudah ia dapatkan gadis penghibur yang lebih muda dan seksi, namun ia tak mendapat kehangatan sesempurna yang diberikan Tante Dewi. Yang Ray butuhkan bukan hanya kenikmatan sesaat, namun juga sosok yang mampu berbagi banyak hal tentang kehidupan.

Ray senang saat wanita bertubuh sintal itu bercerita tentang hidupnya, yang harus menjanda akibat diselingkuhi suami. Ia membalaskan dendamnya dengan caranya sendiri, bukan hanya untuk kepuasan batin, tapi juga untuk menghidupi anak gadis yang ia rawat dan besarkan dengan penuh kasih di kampung halaman. 

“Bener-bener goblok tuh suami Tante, bisa-bisanye ninggalin perempuan secantik Tante,” Ray mencumbu leher mulus berkalung emas yang menggantung huruf R itu. Tak ada kata, hanya embusan nafas wanita paruh baya itu yang mulai tak teratur.

Di luar, gemericik air dari langit semakin deras, namun di ruangan lima meter persegi itu kehangatan mampu mengalahkannya. Dua pasangan berbeda usia itu semakin tenggelam pada kenikmatan yang sempurna.  Ray mengakhirinya dengan erangan, lalu tersenyum.

“Cuma Bersama Tante, gue bisa dapet kebahagiaan,” katanya sambil mencium pipi mulus dengan mata terpejam. Mereka terdiam dan terlentang dengan posisi berdampingan.

“Kalau A Ray merasa sulit mendapat kebahagiaan di rumah, carilah perempuan yang bisa membimbing a Ray menuju jalan kebaikan, supaya hidup A Ray tenang dan bahagia,” begitulah Tante Dewi, meski apa yang ia lakukan dianggap hina oleh kebanyakan orang, namun di hatinya tersimpan mutiara yang berkilau indah.

Ray hanya diam, ditariknya selimut hingga menutupi tubuh keduanya. Hujan mulai reda, langit pun perlahan meredup. Azan magrib terdengar saling bersahutan, namun Ray dan Tante Dewi bergeming, menikmati kehangatan yang semakin menghanyutkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: