Pesan untuk Ray

Pesan untuk Ray

--

Ray tertelungkup di pojok ruangan. Semerbak alkohol begitu menusuk, detak jarum jam seolah terus membawa ingatannya pada hari itu, hari di mana semua angan kebahagiaan runtuh melalui sebuah pesan WhatsApp. 

“Maafkan aku, keputusan ini sudah bulat, aku tidak bisa memiliki suami sepertimu.” 

Ray mengangkat wajah, memandangi langit-langit dengan tatapan kosong. Paras manis Aisyah seolah terus berkelebat, sorot mata, sungging senyum, wangi pamfum, semua terasa begitu menyakitkan. Saat itu juga, ada sungai kecil mengalir di pipinya. 

“Rani?” lekas diusapnya kedua bola mata saat pintu terbuka. Perempuan itu mendekat, melempar secarik kertas di antara botol minuman keras.  

“Jadi selama ini, kau mendekatiku, meminta diajarkan ilmu agama, hanya agar bisa mendapatkan Aisyah?” 

“Hah? Maksudnya loe gimana, Ran?” 

Gadis bermata sayu itu menutup wajah dengan kedua lengan, punggungnya mulai berguncang, ada isak yang tak terjelaskan oleh kata. Semilir angin masuk melalui sela-sela jendela, membuat suasana semakin kelam, sekelam hati keduanya yang tercabik oleh perasaan yang diselimuti kekecewaan.

“Ran, cepetan! Sebentar lagi adzan Jumat, takut ketahuan pengurus pesantren kalau kita main ke tempat enggak jelas ini,” seseorang berbisik dari balik pintu. 

“Kamu jahat, Ray,” Rani bangkit dan pergi.

***

Kontrakan di pinggiran sawah ini hanya memiliki dua ruangan, kamar tidur dan toilet di balik dinding. Lokasinya agak terpojok, jarang orang melintas di jalan menuju kontrakan ini. Hanya petani yang hendak ke ladang saja yang biasa lewat setiap pagi dan sore.

Sudah dua hari Ray tak pulang, tak ada satu pun orang terdekatnya mengetahui di mana ia berada, kecuali Rani, gadis yang ia anggap bisa membantunya mendapatkan Aisyah. Namun Ray memang tak pernah menceritakan perasaannya itu kepada Rani, di setiap perjumpaannya, mereka hanya berdiskusi soal ibadah dan kehidupan sesuai tuntunan agama.  

Semua itu Ray lakukan agar mendapatkan apa yang ia inginkan, ya, Aisyah. Baginya, tak senyum paling menggoda selain senyum gadis bungsu Ustad Makmun itu. Namun sekarang ia berpikir, jika pada akhirnya harus seperti ini, lalu untuk apa semua peristiwa demi peristiwa itu terjadi. 

Masih teringat jelas, bagaimana Aisyah yang senang mengenakan gamis dan kerudung berenda itu mengajaknya mengikuti pengajian, ceramah agama di kampung-kampung, serta beberapa kali ikut mengaji kitab bersama ayahanda di masjid kampung bersama pemuda setempat, sebelum pandemi covid-19 mewabah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: