Teras Rumah Ibu

Teras Rumah Ibu

ilustrasi--

 

 

 

Oleh Daru Pamungkas

Sejak kematian bapak tahun lalu, sebagai anak sulung, Rokmahlah yang mengurus semua urusan keluarga. Ibunda yang sudah tak berdaya lantaran terkena stroke sejak lama, hanya mampu terdiam di atas pembaringan, atau sesekali meminta pindah ke kursi roda untuk melihat matahari pagi di teras rumah. Seperti yang biasa dilakukan bersama almarhum bapak dulu.

 

 

Rangga adiknya sudah tak tinggal di rumah, katanya sih ingin hidup mandiri, sebanarnya Rokmah juga paham, itu hanya alasan yang dibuat-buat agar Rangga tidak merawat ibu. Adiknya itu sama seperti bapak, keras kepala dan bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya. 

Ia mengambil kredit rumah setelah diterima bekerja di pabrik sepatu. Namun nahas, baru tiga bulan bekerja pandemi covid 19 mewabah dan berdampak pada perekonomian sehingga terjadi PHK besar-besaran, Rangga menjadi salah satu di antaranya.

“Kalau dipakai buat bayar cicilan rumah elu, ya enggak bakal cukuplah, uang hasil jual sawah peninggalan almarhum bapak ini kan sudah terkuras untuk menutupi hutang berobat ibu,” protes Rokmah.

“Lantas, gua mau bayar pakai apa?”

“Urus urusan lu sendiri, belajar dewasa.”

“Bapak, kan, sudah enggak ada, bagi saja warisannya!” Rokmah turun dari pembaringan, bahunya naik turun, nafasnya tak beraturan, sorot matanya begitu tajam, jari telunjuknya diarahkan ke dahi Rangga. 

“Anak macam apa lu? Lu enggak liat ibu masih ada noh, ngomong-ngomong warisan,” Ditepisnya lengan Rokmah, kakak beradik itu saling tatap sebelum akhirnya Rokmah membalikkan badan dan membanting pintu kamar.

Diambilnya ponsel, layar bergambar foto dirinya bersama lelaki yang berwajah oval dan berambut rapi itu seolah mampu sedikit meredakan suasana hati atas segala kepenatan. “Halo, Mas Arya,” suara sedikit serak itu memelas sebelum akhirnya bercerita tentang masalah di rumah.

Sebagai pegawai honorer di kantor desa, Arya tentu tak bisa memberikan solusi selain meminta Rokmah untuk bersabar. 

“Kalau begini terus keadaannya, aku ndak sanggup, Mas,” suara detik jarum jam seirama dengan isak tangis Rokmah. Setelah percakapan itu, tak ada lagi kata yang keluar dari ponsel. Hening, mereka terlelap.

 

  

Rokmah bangkit dari pembaringan saat teringat kalau ibu belum makan dan minum obat. Namun ketika membuka kamar di pojok dekat ruangan tengah itu, Rangga sudah sibuk merapikan obat dan terlihat piring serta sendok sisa makan di meja samping pembaringan ibu.

“Tinggal diseduhin teh herbal, nanti bikinin ya. Gue mau siapin buat keperluan ngariungan besok ke Pak RT dan Pak Ustad,” Rangga melangkah menuju pintu.

“Tumben amat lu mau ngurus ibu,” Rokmah yang masih heran tak ditampik, Rangga berlalu menutup pintu.     

Hari itu Rokmah sedang sibuk-sibuknya mengontrol ibu-ibu masak di belakang halaman rumah untuk acara haul almarhum bapak, bahkan beberapa kali ia harus pergi ke pasar karena ada bahan yang kurang. Rokmah tak sempat membuka ponsel, panggilan masuk dari Arya kekasihnya tak terangkat.

Tak terasa, senja berganti malam, para jama’ah mulai berdatangan. Ngariungan malam itu penuh khidmat, bapak-bapak, pemuda, hingga anak-anak duduk bersila di atas terpal di halaman depan rumah. Bagi yang tak mendapat posisi duduk, disediakan tempat paling belakang menggunakan kursi milik DKM masjid.

Doa-doa dipanjatkan, suara-suara amin terdengar hingga kejauhan, hingga akhirnya sang ustad yang memimpin pun menyudahi doa, bingkisan berkat dibagikan, cemilan yang ditaruh di piring-piring serta kopi dan rokok tak luput disuguhkan.

Seusai doa, hal yang paling menarik dari ngariung ialah obrolan-obrolan setelahnya. Bahkan saking serunya bisa sampai tengah malam. Rokmah duduk di kursi dekat ibunda, ia merasa lega, acara ngariung selesai dilaksanakan. “Semoga bapak diberi tempat yang lapang di alam sana, ya, Bu,” 

Seperti biasa, sang ibu hanya diam tak bersuara. Namun Rokmah melihat ada air mengalir dari mata ibu, ia memeluknya. “Ibu pasti kangen ya sama bapak, sabar ya bu, Rokmah juga kangen banget, tapi kita harus ikhlas, Bu,” ia menenangkan.

Satu-persatu jamaah pulang, Rokmah pun mengantar ibu ke kamar. Setelah itu ia menuju ke halaman, tikar-tikar digulung, piring-piring pun diangkut ke dapur, beberapa pemuda ikut membantu. Hingga Rokmah sadar, di pojok paling ujung dekat jalan perkampungan, Rangga tengah mengobrol dengan beberapa orang dewasa, bapak-bapak adapula yang masih mengenakan seragam dinas.

Tak lama mereka juga pamit lantaran suasana sudah mulai sepi. Lagi-lagi rasa lelah setelah seharian mengurus ini dan itu, mengalahkan rasa penasaran Rokmah, Ia masuk ke kamar setelah memastikan semuanya rapi. Dibukanya ponsel, ada notifikasi dan pesan WhatsApp dari Arya, namun ia hanya sekedar melihat, matanya tak tahan melawan kantuk.

            Suara riuh orang mengobrol dari depan rumah membangunkan Rokmah, saat membuka pintu kamar ia kaget lantaran sudah banyak petukang mengangkut televisi, kulkas, sofa, bahkan foto-foto keluarga. Tak peduli rambutnya yang masih semrawut, ia melangkah keluar. 

            “Rangga, apa-apaan ini?” Rokmah menghardik adiknya yang sedang mengobrol dengan bapak-bapak.

            Rangga menyerahkan map, di dalamnya berisi surat persetujuan penjualan rumah yang ditandatangi oleh ibu. Rokmah tak kuasa menahan tangis, dicarinya ponsel dan menelpon Arya untuk memastikan keadaan. 

            “Dari kemarin aku telponin enggak diangkat, adikmu itu dari dua hari yang lalu bulak-balik ke kantor desa terus ngurus penjualan rumah, makanya aku telpon kamu,” kaki Rokmah bergetar mendengar apa yang barusan kekasihnya katakan.

            “Dasar anak sialan lu,” Rokmah melempar map itu ke wajah adiknya.

            Lekas ia berlari mencari ibu ke kamarnya, namun kosong, hanya ada pulpen dan sisa sarapan di meja. Rokmah berteriak memanggil tak ada jawaban, ia pun pergi ke teras rumah, sang ibunda duduk di kursi roda. Matanya terpejam, raut wajahnya pucat pasi, lengannya menggelantung dan dingin.

“Ibu..” tangis itu pecah di antara kesunyian, orang-orang mulai berdatangan, tak lama kemudian, sebuah pengumuman pun terdengar dari toa masjid.

*SELESAI*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait