Malam Ramadan di New York City

Suasana Grand Qiyam ICNYU dengan mahasiswa Indonesia dari Columbia University, New York University, dan Parsons School of Design-Marsha Fabiola-
Nama saya Marsha Fabiola. Saya berasal dari Kota Serang, Banten. Saat ini saya tengah melanjutkan studi magister di Columbia University jurusan Komunikasi dan Pendidikan yang dibiayai oleh Kementerian Keuangan lewat Beasiswa LPDP.
Ini adalah tahun kedua saya menjalankan ibadah puasa di New York City sebagai mahasiswa. Berbeda dengan tahun lalu di mana saya harus berpuasa sambil menghadiri kelas, mengerjakan tugas, ujian, dan magang, ramadan kali ini terasa jauh lebih ringan karena saya sudah bebas mata kuliah dan hanya perlu menyelesaikan tugas akhir dan magang.
Beberapa universitas di kota seperti Columbia dan NYU biasanya menyelenggarakan buka bersama gratis setiap hari bagi mahasiswa dan anggota komunitas di sekitar kampus.
Kegiatan ini disponsori oleh donasi ramadan dari alumni dan masyarakat umum. Tidak hanya bantuan keuangan, kontribusi sukarelawan juga berperan besar dalam kelancaran kegiatan ini, mengingat ramainya jumlah pendatang yang hendak membatalkan puasanya di waktu yang singkat dan luas ruangan yang kadang terbatas.
Setelah adzan magrib berkumandang, kami akan diberikan waktu untuk membatalkan puasa dengan segelas air putih dan satu butir kurma yang sudah dibagikan oleh sukarelawan sebelumnya. Segera setelah itu salat maghrib berjamaah diselenggarakan lalu dilanjut dengan membuka antrian makanan untuk disantap bersama.
BACA JUGA:Gak Komplit Lebaran Tanpa Sayur Ketupat, Intip Resepnya Yuk
BACA JUGA:Makna di Balik Judul Drakor Netflix When Life Gives You Tangerines, Sudah Tahu?
Yang paling saya sukai dari kegiatan ini adalah mengenal dan mencoba makanan baru dari kultur yang berbeda-beda.
Beberapa makanan yang pernah saya coba di antaranya adalah nasi dan kambing dengan bumbu rempah khas Timur Tengah, roti kari dan teh susu khas Asia Selatan, serta chicken jerky dan makaroni keju khas Afrika-Amerika yang juga merupakan salah satu komunitas muslim terbesar di New York City. Kesempatan ini membuka mata saya tentang bagaimana ramadan dirayakan di berbagai kultur di dunia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ramadan membuat banyak muslim menjadi makhluk nokturnal, terlebih bagi mahasiswa seperti saya. Karena jadwal ibadah yang padat, malam hari juga menjadi waktu yang lebih disukai untuk melanjutkan tugas kuliah yang dikejar batas waktu. Untuk itu kopi jadi sangat diperlukan di jam-jam setelah berbuka.
Umumnya, toko kopi di New York City tutup pukul tujuh malam, bertepatan dengan waktu berbuka puasa di musim semi seperti tahun ini. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi toko kopi khas Yaman yang setiap harinya selalu tutup jam dua pagi sepanjang tahun.
Inilah yang membuat toko kopi khas Yaman selalu menjadi favorit bagi muda-mudi muslim yang hendak begadang di malam hari di bulan ramadan. Menu favorit saya adalah Adeni Chai. Walaupun minuman ini berbasis teh, kafeinnya tetap memiliki efek yang sama kuatnya dengan kopi yang biasa saya beli di pagi hari.
Salat tarawih tidak hanya menjadi momen ibadah bersama, tetapi juga ajang untuk mengkhatamkan Al-Qur'an. Dalam 30 hari Ramadan, imam akan membaca satu juz setiap malam dalam salat tarawih, sehingga di akhir bulan suci, seluruh 30 juz Al-Qur’an telah diselesaikan.
Bedanya, Columbia menyelesaikan 1 juz dalam 8 rakaat, sedangkan NYU dalam 20 rakaat. Siapapun bisa jadi imam selama hafal ayat yang dibawakan pada rakaat dan hari yang telah ditentukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: