Obat Perkutut

“Tenang aja Kak, nanti juga kakak yang merawatnya”

 

“Ah mana sempat aku merawatnya, ini juga mau ke kampung sebelah, ada inseminasi sapi, terus merawat anjing yang kakinya patah  ketabrak motor”

 

“MakanyaKak, lebih baik jadi Dokter orang dari pada Dokter hewan, biar yang diobati ga binatang mulu, dan yang pasti lebih cepat dapat jodoh… ha….ha….ha…” canda Yadi sambil menaiki motornya.

 

“Ah … kamu bisa aja” jawabku.

 

Sambil nyengir Yadi langsung mengendarai sepeda motornya. Yadi memang sering datang ketempat praktekku. Tamat dari SMK Yadi memilih untuk bekerja melanjutkan usaha bapaknya yang telah meninggal. Karena hanya dia anak laki-laki satu-satunya. Sedangkandua kakaknya setamat SMA langsung melanjutkan ke Perguruan Tinggi di kota.

 

            Sebelum tinggal dirumah dinas disamping PUSKESWAN, aku tinggal di rumah keluarga Yadi, karena sebagai warga baru dikampung ini aku perlu adaptasi dulu dengan warga sekitar. Sehingga Yadi dan keluarganya sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Namun karena jadwal kerja yang tidak terbatas  waktudan tempat,membuatku risih danmerasa terlalu merepotkan keluarga tersebut. Sebagai seorang Dokter Hewan, aku sering keluar masuk kampung untuk melayani masyarakat yang mempunyai hewan ternak atau hewan peliharaan. Hal inilah yang membuat jadwal kerjaku tak menentu, sehingga sering pulang sampai larut malam.

 

            Yadi sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Awalnya dia memanggilku dengan “Pak Dokter”, seperti warga yang lain, namun aku memintanya agar memanggilku Kakak saja agar tidak terlalu formal.Memelihara burung awalnya hanyasekedar hobi. Selain perkutut Yadi juga memelihara burung merpati. Namun berkat tangan dinginnya burung-burung  tersebut berkembang biak dengan baik, bahkan ada yang dilatih untuk ikut lomba, dan sebagian dijual. Yadi sering menang dalam beberapa perlombaan kicau burung perkutut. Tentu hal ini menjadi  sumber penghasilan baru bagi Yadi, selain menjual hasil sawit dari kebunnya.

 

***

Sumber: