“Nggak usah berlebihan. Udah, sini foto lagi. Aku yang di tengah,” ujar Fitri. Dia tidak percaya dengan hal-hal berbau takhayul.
Besoknya, Fitri ke rumah Nyai. Fitri ingin melihat foto mereka setelah dicetak menggunakan printer milik Nyai.
Anehnya, Nyai cuma mencetak foto dengan posisi dia diapit oleh Fitri dan Indri. Karena, Nyai merasa dia lebih cantik dibandingkan tampilannya di foto mereka bertiga yang lain.
“Padahal, Nyai kelihatan pucat,” batin Fitri menilai.
Fitri tidak protes. Dia sadar, Nyai yang berkuasa. Karena handphone dan printer yang digunakan adalah milik Nyai. Ide untuk mengabadikan persahabatan mereka juga datang dari Nyai.
Sejak itu, Nyai seperti diikuti sesosok pocong. Ibu kandung Indri yang melihatnya. Ada pocong di belakangnya, ketika Nyai berjalan masuk ke dalam rumah orangtuanya.
Beberapa hari kemudian, Nyai sangat bahagia. menemui Indri di rumahnya. Kepada sahabatnya itu, Nyai bilang kalau dia sudah haid.
“Nyai udah haid dong. Sekarang Nyai udah dewasa kayak Teh Indri dan Teh Fitri dong,” kata Nyai semringah.
Indri cuma bisa tersenyum. Dia tidak mau merusak kebahagiaan sahabatnya itu.
Nyai lalu pamit. Dia mau pulang, untuk mempersiapkan kepergiannya ke rumah saudaranya.
Indri kemudian menemui Fitri. Menceritakan soal haid pertama yang dialami Nyai.
Sama seperti Indri, Fitri juga kaget mendengar kepolosan Nyai. Sebab, kepercayaan di kampung mereka, seorang gadis tidak boleh menceritakan haid pertamanya kepada orang lain. Pamali!
Hari pertama di rumah saudaranya, Nyai pamit ke kamar mandi di bagian belakang rumah. Dia mau mengganti pembalut wanita.
Entah jijik atau tidak paham bagaimana memperlakukan pembalut wanita yang sudah dipakai, Nyai tidak mencuci pembalut wanita berlumuran darah haidnya. Di langsung membuangnya. Melemparkannya bagitu saja lewat ventilasi kamar mandi.
Tiba-tiba, tubuh Nyai kejang. Kaku seperti orang terkena serangan strok. Nyai jatuh ke lantai kamar mandi.
Tubuh Nyai panas. Demam tinggi saat diangkat oleh saudara-saudaranya. Nyai dibawa ke kamar.