Cancel Culture: Budaya Toxic di Media Sosial yang Mematikan

Cancel Culture: Budaya Toxic di Media Sosial yang Mematikan

Fenomena cancel culture kembali menjadi sorotan-Pinterest/Her Campus-

INFORADAR.ID - Fenomena cancel culture kembali menjadi sorotan setelah kasus kematian aktris Korea Selatan, Kim Sae-ron. Dugaan kuat menyebutkan bahwa budaya cancel culture yang ganas di negaranya berperan dalam keputusan tragisnya untuk mengakhiri hidup. 

 

Isu ini semakin berkembang ketika Kim So Hyun, pemilik agensi Gold Medalist, agensi yang menaungi Kim Sae-ron sebelum kematiannya ikut terseret dalam kontroversi. Agensi tersebut diduga memeras Kim Sae-ron, yang kehilangan pekerjaan akibat cancel culture. Akibatnya, ia mengalami kesulitan finansial dan tidak mampu membayar utangnya kepada Gold Medalist.

 

Apa Cancel Culture itu dan seberapa bahayakah terhadap individu? Simak penjelasannya berikut ini:

 

Cancel culture, atau budaya pembatalan, merupakan fenomena di mana individu atau institusi mendapat kecaman besar-besaran di media sosial akibat tindakan atau pernyataan mereka yang dianggap salah atau kontroversial. 

 

Budaya ini sering kali menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan, reputasi, bahkan berdampak pada kesehatan mental mereka. Kini, banyak orang merasa harus berhati-hati dalam bersikap di ruang publik karena takut mendapat kecaman.

BACA JUGA:Sana Arra, Balita Viral yang Tuai Kontroversi di Media Sosial

BACA JUGA:Momen Ustadz Adi Hidayat Lantunkan Syair 'Bul Bul Tob Tobitob' yang Lagi Viral

Media sosial semakin memperparah fenomena ini. Berbagai peristiwa viral dengan cepat menyebar dan menciptakan opini publik yang sulit dikendalikan. Bahkan sebelum ada bukti yang jelas, seseorang bisa langsung dihukum oleh publik. 

 

Akibatnya, banyak orang menjadi lebih cemas dan takut mengambil risiko, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional mereka. Melansir dalam Kanal YouTube SatuPersen, seorang sosiolog bahkan memandang budaya ini memiliki peranan yang cukup besar pada kebebasan berekspresi. 

 

Banyak individu yang memilih bermain aman dalam menyampaikan pendapatnya agar tidak terkena imbas cancel culture. Hal ini berisiko menghambat inovasi dan perkembangan masyarakat karena semua orang takut bereksperimen atau berpikir kritis.

 

CEO Tesla dan pemilik platform X, sebelumnya Twitter, Elon Musk, pernah menyampaikan kekhawatirannya terhadap pembatasan kebebasan berbicara akibat cancel culture. Menurutnya, membungkam suatu ide tidak akan menyelesaikan masalah, melainkan akan memperburuk polarisasi masyarakat. 

BACA JUGA:Fenomena Popo Siroyo yang Viral di Media Sosial

BACA JUGA:Fenomena FOBO di Kalangan Gen Z: Takut Dengan Pilihan, Apa Itu FOBO?

Selain itu, budaya cancel juga sering kali mengarah pada toxic positivity. Banyak orang lebih memilih menghindari konflik dan hanya ingin merasa aman di zona nyaman mereka. Padahal, kemajuan peradaban sering kali lahir dari keberanian dalam mengambil risiko dan menghadapi tantangan. 

 

Sejarah mencatat bahwa peradaban besar seperti Islamic Golden Age dan Renaissance berkembang pesat karena masyarakatnya berani bereksperimen dan terbuka terhadap berbagai pemikiran. 

 

Untuk mengatasi dampak negatif cancel culture, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Menghindari perilaku menghakimi tanpa bukti yang jelas, serta membuka ruang diskusi yang sehat, bisa menjadi solusi agar cancel culture tidak semakin merugikan individu dan masyarakat secara luas.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: