Disway Award

Royalti Musik Hotel: Polemik Tagihan karena TV di Kamar bisa Stell Musik

Royalti Musik Hotel: Polemik Tagihan karena TV di Kamar bisa Stell Musik

Royalti musik-Istimewa-

INFORADAR.ID - Royalti musik hotel menjadi sorotan publik setelah sejumlah hotel di Mataram mendadak menerima tagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Tagihan itu muncul meski pihak hotel mengaku tidak pernah memutar musik secara langsung. Penyebabnya adalah televisi di kamar yang dianggap cukup sebagai sarana pemutaran musik.

Bagi para pengusaha, penerapan royalti musik hotel seperti ini terasa membingungkan. Mereka menilai logika regulasinya kurang tepat karena televisi di kamar biasanya digunakan untuk tontonan umum, bukan pemutaran lagu komersial. Akibatnya, muncul rasa ketidakadilan yang mengusik pelaku usaha.

Besaran royalti musik hotel yang dikenakan juga membuat banyak pengelola hotel terkejut. Nominalnya bervariasi, mulai dari sekitar Rp2 juta hingga lebih dari Rp16 juta per tahun, hanya berdasar jumlah kamar.

Asosiasi perhotelan di Mataram menyebut kebijakan ini datang mendadak dan sulit diterapkan di tengah kondisi bisnis yang belum pulih pascapandemi.

Menurut LMKN, kewajiban membayar royalti musik hotel sudah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 dan PP No. 56 Tahun 2021. Fasilitas pemutaran musik termasuk televisi di kamar masuk kategori layanan komersial. Namun, banyak pelaku industri menilai tafsir tersebut terlalu luas dan tidak mencerminkan praktik nyata di lapangan.

Fenomena royalti musik hotel ini sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain, aturan serupa juga berlaku untuk pemutaran musik melalui media elektronik. Bedanya, di Indonesia masalah muncul karena penerapan regulasinya dinilai belum adaptif terhadap kondisi industri lokal.

BACA JUGA:Dibalik Vonis Mati Kasus Mutilasi di Serang, Ini 5 Fakta yang Mengerikan

BACA JUGA:Mantap! Ada Promo Hiburan Spesial Kemerdekaan 2025, Jangan Sampe Gak Ikutan

Reaksi Pelaku Usaha dan Seruan Perubahan

Sejumlah hotel di Mataram, termasuk yang hanya memiliki kurang dari 50 kamar, mengaku kaget saat menerima tagihan yang nilainya mencapai jutaan rupiah per tahun. Mereka merasa tidak pernah diberi penjelasan detail tentang kewajiban tersebut. Ketidaktahuan ini menimbulkan keresahan dan memicu diskusi panjang di kalangan pengusaha hotel.

Ketua PHRI NTB, Ni Ketut Wolini, menilai kebijakan ini membebani pelaku usaha perhotelan, terlebih karena minimnya sosialisasi. Ia juga menyoroti tidak adanya perwakilan LMKN di daerah, sehingga informasi teknis sulit diperoleh. Menurutnya, revisi kebijakan sangat diperlukan agar lebih sesuai dengan realitas bisnis daerah.

Usulan Mekanisme yang Lebih Transparan

IHGMA NTB melalui General Manager Hotel Aruna Senggigi, Lalu Abdul Haris, menyampaikan bahwa industri siap membayar royalti jika mekanisme penarikannya transparan. Salah satu yang diminta adalah daftar lagu yang menjadi dasar penghitungan. Tanpa informasi itu, penarikan dianggap tidak jelas dan berpotensi memicu penolakan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: