3. Proses daftar terlalu panjang
Sebuah laporan dari National Association of Colleges and Employers (NACE, 2022) menyebutkan 65% mahasiswa lebih memilih platform magang dengan proses pendaftaran cepat.
Namun realitanya, banyak portal justru meminta dokumen berlapis-lapis, dari CV, esai, sampai upload berulang kali. Alih-alih efisien, mahasiswa merasa terbebani birokrasi digital.
4. Kurang komunikasi dan feedback
Studi LinkedIn 2023 mencatat bahwa 94% pelamar lebih menghargai perusahaan yang memberikan update lamaran, meski hasilnya penolakan.
Sayangnya, mayoritas portal magang di Indonesia tidak punya sistem real-time tracking. Alhasil, mahasiswa hanya bisa menunggu dalam ketidakpastian, yang berdampak pada menurunnya motivasi dan kepercayaan diri.
BACA JUGA:Resmi Dibuka! Magang Berdampak 2025, Kesempatan Emas Mahasiswa Raih Gaji Rp5,5 Juta
BACA JUGA:Kesempatan Emas Magang Kementerian Luar Negeri untuk Mahasiswa Aktif, Ini Syarat dan Cara Daftarnya
5. Tidak menyesuaikan tren magang baru
Tren magang global kini bergeser ke arah fleksibilitas: remote internship, gig-based project, dan short-term experience.
Menurut Harvard Business Review (2022), tren ini muncul karena mahasiswa ingin pengalaman praktis yang lebih adaptif dengan gaya hidup digital.
Namun, sebagian besar portal magang di Indonesia belum punya kategori jelas untuk itu.
Inilah yang membuat mahasiswa sulit menemukan format magang yang relevan dengan kebutuhan zaman.
BACA JUGA:122 ASN di Lebak Ajukan Perceraian, Faktor Ekonomi Jadi Penyebab Utama
BACA JUGA:Lihat Kebunku Versi Aku Jeje Viral, Mendewasakan Lagu Masa Kecil
Meski begitu, mahasiswa Gen Z tetap bisa menyiasati keruwetan ini. Mulai dari memanfaatkan fitur filter, membuat catatan deadline sendiri, hingga mencari peluang lewat LinkedIn dan media sosial.