“Jangan ikut campur!” katanya.
Wahyu tetap membaca zikir Ratib Al-Haddad. Tidak menghiraukannya sampai ibunya sadar sendiri.
Bapak merasa badannya lebih enak. Bapak bisa berjalan lagi.
Namun, beberapa hari kemudian, Bapak kambuh. Jam 24.00, telapak kaki Bapak panas. Menjalar ke dadanya. Bapak tidak bisa berjalan lagi. Ngesot.
Wahyu pun memanggil teman-temannya. Dia meminta untuk zikir Ratib Al-Haddad.
Saat Ratib Al-Haddad dibaca, banyak gangguan. Bau bangkai, bau kabel terbakar tercium. Beberapa gelas pecah sendiri.
Bapak tidak kunjung sembuh. Bapak kurus. Tinggal tulang dibalut kulit.
Bapak sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tidak bisa berjalan lagi.
Akhirnya Bapak dibawa ke rumah sakit. Oleh dokter, Wahyu dan keluarganya diminta untuk mencari darah.
“Kata dokter, darah Bapak nggak ada. Dokter juga heran. Harusnya orang yang sudah tidak ada darahnya itu sudah nggak ada (meninggal dunia),” ujar Wahyu.
Darah dicari di PMI. Karena, di rumah sakit cuma tersedia 1 kantong darah.
Darah yang cocok dengan golongan darah Bapak didapat. Transfusi darah dilakukan pada malam hari.
Anehnya, pagi harinya, dokter minta darah lagi. Darah Bapak tidak ada.
Di rumah sakit, Bapak ditemui empat sosok menyeramkan. Satu berwujud Genderuwo. Kepada Bapak, Genderuwo ini mengaku bernama Badrun.
“Kamu mau mati di sini apa di rumah,” tanya Badrun kepada Bapak.
Badrun didampingi tiga anak buahnya. Sosoknya seperti manusia. Tapi sangat kurus, tinggal tulang.