“Di samping proyek kan ada rumah-rumah warga, itu nggak kenapa-kenapa. Cuma bangunan Bapak aja yang rubuh.”
“Jumat depannya, bangunan Bapak yang sudah dibangun lagi itu, roboh lagi. Jadi dua Jumat bangunan Bapak rubuh”.
Bapak kena marah bosnya. Bapak pun membangunnya lagi. Merenovasinya lagi.
Pas membetulkan atap, Bapak kembali cekcok dengan Mandor. Mereka berebut scaffoding.
Saat itu, scaffoding yang bisa digunakan cuma satu unit. Karena, yang lain tertimpa reruntuhan bangunan.
“Terus, si Mandor ini ngomong, Bapak mau main kasar apa halus,” kata Wahyu.
“Bapak nggak ngeladeni. Bodo amat deh lu ngomong apa. Bapak bilang gitu. Bapak melanjutkan kerja”.
Sejak itu, Bapak mulai sakit. Sakit yang tidak wajar.
Bapak merasakan telapak kakinya hangat. Berubah menjadi panas. Kemudian menjalar ke dada.
Bapak tidak bisa tidur. Merasakan sakit mulai jam 24.00 sampai jam 06.00.
Begitu rasa panas hilang, Bapak berangkat ke proyek. Tetap bekerja seperti biasa.
Namun, jam 24.00, Bapak kembali merasakan panas. Dari telapak kaki, menjalar ke dada sampai jam 06.00 pagi.
Sakit ini terus dialami Bapak. Anehnya, waktunya selalu sama.
Wahyu pun mengundang teman-temannya satu majelis taklim. Mereka berkumpul. Zikir membaca Ratib Al-Haddad untuk Bapak.
Bapak tidak merasakan tubuhnya panas lagi. Bapak bisa tidur dengan pulas.
Bapak bermimpi, Bapak diikat sama orang yang tidak kelihatan. Kaki, pinggang, dan dadanya diikat dengan kawat emas yang dilapisi kain putih.