Di Brasil, pejabat yang terbukti melakukan korupsi bisa dilarang mencalonkan diri atau menduduki jabatan publik selama beberapa tahun.
Kasus "Operasi Cuci Mobil" (Lava Jato) adalah contoh terkenal, di mana banyak politisi terlibat dalam kasus korupsi besar-besaran dan kemudian dilarang berkecimpung di dunia politik.
Lalu di Italia, pelaku korupsi juga bisa dilarang menduduki jabatan publik sebagai bentuk hukuman tambahan.
Hal ini diterapkan untuk mencegah korupsi berulang dan memperkuat integritas sistem pemerintahan.
5. Hukuman Sosial
Selain hukuman formal, di beberapa negara, hukuman sosial juga diterapkan. Koruptor bisa kehilangan reputasi dan dihukum oleh masyarakat melalui pengucilan sosial.
Meskipun Jepang tidak memiliki hukuman mati atau hukuman fisik yang keras untuk pelaku korupsi, masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai moral.
Pejabat yang terbukti korup sering kali dipermalukan di media, diasingkan secara sosial, atau terpaksa mundur dari jabatan mereka.
Di Korea Selatan, skandal korupsi bisa merusak reputasi seseorang secara permanen. Hukuman sosial di Korea sangat berat, karena masyarakat menganggap integritas sebagai hal yang sangat penting.
6. Rehabilitasi dan Restorasi
Beberapa negara mulai menerapkan pendekatan rehabilitasi dan restorasi sebagai bagian dari hukuman bagi para koruptor.
Ini dilakukan dengan cara meminta pelaku untuk berpartisipasi dalam program anti-korupsi atau terlibat dalam kegiatan pengembalian dana kepada masyarakat.
Di Afrika Selatan, koruptor yang bertobat dapat berpartisipasi dalam program rehabilitasi.
Mereka diberi kesempatan untuk menebus kesalahan dengan mengembalikan dana yang dikorupsi atau berkontribusi pada upaya pemberantasan korupsi.
Wah yang terakhir ini jangan sampai diterapkan di negara Konoha ya.
BACA JUGA:Korupsi Proyek Pabrik Peleburan Baja, Mantan Dirut Krakatau Steel Divonis Lima Tahun Penjara