Haji Mabrur atau Mardud, Refleksi Haji Terhadap Kehidupan Sosial

Jumat 14-07-2023,10:51 WIB
Reporter : Muhammad Ridho Ardiansyah
Editor : Haidaroh

Refleksi haji mabrur akan terpancar ketika dia berusaha untuk tidak mengulangi dosa-dosa sebelumnya dan mengganti dengan kebaikan-kebaikan yang berdampak positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Ketiga, Tidak ada rasa riya dalam melaksanakan ibadah haji. Ini yang menjadi sorotan di abad ini ketika banyak orang yang melaksanakan haji tapi mereka terlalu sibuk untuk mendokumentasikan ibadah tersebut di media sosial. Mereka berfoto seakan-akan sedang beribadah atau berdo’a. Terlepas riya atau bukan hal tersebut urusan hatinya dengan sang Kholiq.

Akan tetapi, ketika seseorang mendokumentasikan ibadah di media sosial merupakan hal yang tidak wajar. Cukuplah ibadah karena Allah. Cukuplah ibadah urusan kita dengan sang Khaliq. Cukuplah dokumentasi ibadah malaikat yang catat dan menjadi catatan amal kebaikan di akhirat kelak. Tidak perlu kita ikut mencatat kebaikan-kebaikan kita atau memposting di media sosial yang tentunya potensi hati untuk riya semakin besar.

Selain tanda-tanda yang digambarkan Dr. Abdul Karim Zaidan, keterangan lain mengenai tanda-tanda haji mabrur tersurah di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Thabrani, dan al- Baihaqi, yang artinya: Dari sahabat Jabir bin Abdillah RA, Rasullah SAW bersabda, “ Haji mabrur tiada balasan lain kecuali surga.” Lalu sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa (tanda) mabrurnya?” Rasulullah menjawab, “Memberi makan kepada orang lain, dan bertutur kata yang baik.” Di dalam riwayat Ahmad dan al-Baihaqi, “Memberikan makan kepada orang lain dan menebarkan kedamaian.” Dengan demikian, berdasarkan hadits tersebut tanda-tanda haji mabrur, yaitu: Pertama, memberi makan kepada orang lain (اطعام الطعام). 

Orang yang masuk kategori haji mabrur tidak kikir dan senantiasa berbagi makanan dengan orang lain. Dia sadar bahwa segala yang dimiliki hanya titipan semata, tidak kekal. Maka, dia akan senang ketika harta yang dimiliki juga dinikmati oleh orang lain. Kedua, bertutur kata yang baik (طيب الكلام). Seseorang yang menyandang haji mabrur dia akan menjaga perkataannya dengan baik. Berhati-hati ketika berbicara agar tidak menyakiti orang lain. Dia tidak akan berbicara buruk kepada orang lain atau bahkan menghina atau merendahkan orang lain dengan sengaja. Ketiga, menebarkan kedamaian (افشاء السلام). 

Diantara tanda seseorang masuk kategori haji mabrur adalah senantiasa menebarkan salam atau kedamaian. Memprioritaskan kemaslahatan dibanding perselisihan atau perdebatan. Dimanapun berada dia akan tetap menjaga kedamaian sehingga membuat orang lain merasa nyaman dan aman berada di sekitarnya.

2. Haji Mardud

Mardud (مردود) merupakan bentuk derivasi dari kata radd yang artinya ditolak. Sebuah keadaan yang amat sangat rugi ketika ibadah tertolak karena hal-hal yang terlarang. Ditolaknya suatu ibadah merupakan hal yang tidak dinginkan oleh seorang hamba. Ditolak artinya ibadah tersebut tidak diterima dan tidak masuk dalam catatan amal baik dan merupakan sesuatu yang sia-sia.

Seorang hamba yang betul-betul ibadah karena Allah akan berusaha menghindari hal-hal yang mengakibatkan tertolaknya suatu ibadah. Dia akan berusaha sebaik mungkin dalam melaksanakan ibadah dengan khusyuk, ikhlas, dan memperhatikan juga menjauhi hal-hal yang terlarang di dalamnya. Ibadah haji tertolak karena ada hal-hal terlarang yang dilakukan.

Tanda-tanda haji mardud kebalikan dari tanda-tanda haji mabrur, yaitu: Pertama, melakukan dosa ketika melaksanakan haji. Selama pelaksanaan haji, dianjurkan untuk tidak melakukan dosa. Diantara dosa yang dianjurkan untuk dihindari selama pelaksanaan haji seperti yang termaktub di dalam al-Quran yaitu melakukan rafats, fusuq, dan jidal. Kedua, tidak lebih baik dari sebelum melaksanakan ibadah haji. 

Banyak sekali orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tapi tidak ada efek positif apapun terhadap diri sendiri. Segala keburukan di masa lalu masih dikerjakan atau bahkan semakin bertambah buruk. Ketiga, berharap pujian orang lain (riya). Riya merupakan sifat tercela yang tidak disukai oleh Allah dan RasulNya. Orang yang beribadah diiringi sifat riya berarti tidak ikhlas melakukannya dan berharap mendapat pujian dan kedudukan dari manusia. Sifat riya dianggap termasuk ke dalam syirik kecil (asy-Syirku al-Ashgar). 

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy-syirku al-ashgar (syirik kecil), maka para sahabat bertanya, “apa yang dimaksud dengan asy-syirku al-ashgar?” Rasulullah SAW menjawab, “ar-Riya”. Bahkan secara tegas di dalam al-Quran Allah berfirman yang artinya, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 

Maka kecelakaanlah orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (QS. Al Ma’un: 17). Keempat, tidak mau bersedakah kepada orang lain. Kikir (bakhil) diantara sifat tercela yang dibenci Allah SWT. Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji dianjurkan untuk menjauhi sifat kikir. Adanya sifat kikir di dalam diri seseorang sebagai tanda bahwa dia tertipu oleh kehidupan dunia. Dia tidak yakin bahwa segala yang dimiliki hanya titipan semata yang dapat diambil oleh Pemiliknya kapan saja. Kelima, berkata buruk kepada orang lain. 

Diantara hal yang tidak dianjurkan ketika setelah melaksanakan ibadah haji adalah bertutur kata tidak baik. Perkataan yang tidak baik selain tidak ada maslahat juga dapat menyakiti orang lain. Secara tegas Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbicara baik atau diam” (HR. Bukhori). Keenam, menebarkan kekacauan atau kerusakan di masyarkat. Tanda terakhir ditolaknya ibadah haji seseorang ketika setelah melaksanakan haji yaitu berbuat kekacauan atau kerusakan di masyarakat. Bukannya membuat nyaman orang lain justu malah membuat orang lain menjadi risih karena sikapnya, Na’udzubiilah.

Tanda-tanda haji mabrur dan mardud tersebut hanya sebagai acuan awal diterima atau ditolaknya ibadah haji dari cara bersikap dan cara bersosial. Pada dasarnya, diterima atau ditolaknya ibadah haji adalah hak prerogatif Allah SWT di dalam menentukannya. Kita tidak berhak sedikitpun menilai seseorang apakah diterima atau ditolak ibadahnya. Tugas kita sebagai hamba adalah beribadah dan terus berusaha untuk menjadi lebih baik dengan melakukan hal-hal psoitif dan menjauhi yang negatif. Wa Allahu A’lam. (*)

Tags : #haji
Kategori :