“Ini masalah kopling doang. Udah kamu duduk aja,” kata sopir bus sedikit meninggi.
Biyan mengalah. Dia kembali ke tempat duduknya.
Rupanya, sopir bus itu menuruti saran Biyan. Mulutnya komat-kamit. Dia membaca syahadat. Lirih.
Tiba-tiba, perseneling lancar. Roda gigi bus kembali mudah dipindahkan.
Dari tempat duduknya, Biyan melirik ke luar bus dari kaca. Dia tidak lagi melihat 5 bocah yang tidak utuh badannya itu.
Perjalanan dilanjutkan. Beberapa menit kemudian, bus berhenti lagi. Mogok di jalur Utara Alas Roban yang menurun.
Biyan tidak tahu permasalahannya. Dia melihat sekeliling bus. Gelap. Sunyi.
Tiga awak bus turun. Mereka berusaha memperbaiki mesin bus.
Biyan dan semua penumpang lain ikut turun. Beberapa penumpang berdiri di pinggir jalan. Mereka melakukannya agar aliran darah di kaki kembali lancar setelah duduk berjam-jam.
Penumpang lain, ada yang duduk-duduk di pinggir jalan. Ada yang kembali masuk ke dalam bus. Melanjutkan tidurnya. Penumpang ini mungkin bosan setelah hampir 1 jam mesin bus belum bisa dinyalakan.
Biyan merasakan perutnya lapar. Biyan mengajak Pak Wawan, penumpang lain yang juga lapar, untuk mencari warung makan. Tapi, semua warung di sekitar bus sudah tutup.
Biyan dan Pak Wawan pun berjalan mencari warung. Akhirnya, mereka menemukannya. Letakanya agak masuk ke dalam Alas Roban. Cukup jauh dari jalan raya.
Warung ini didesain seperti Warteg. Dua pintu di antara kaca warung terbuka lebar. Penerangan di dalam warung minim. Hanya diterangi oleh bohlam 5 watt.
Biyan dan Pak Wawan masuk. Tidak ada bermacam makanan yang tersaji di dalam etalase warung. Kosong.
“Kulonuwun..(permisi-red),” kata Biyan.
Tidak ada sahutan dari bagian dalam warung. Sepi.