Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi kesedihan. Setelah tokoh agama dan para tetangga pulang ke rumah masing-masing, bayi Wini tiba-tiba menangis.
Bayi laki-laki itu menjerit-jerit di samping ibunya. Tapi, Wini seolah tidak mendengarnya. Matanya tetap merem.
Agisna berjalan menuju kamar bibinya. Dia bermaksud membangunkan bibinya agar menenangkan bayinya.
Di pintu kamar bibinya, Agisna melihat bayi bibinya tiba-tiba berhenti menangis.
Agisna tidak melanjutkan langkahnya. Tubuhnya seolah kaku ketika menyaksikan bayi itu melayang. Seperti diangkat ke atas oleh tangan yang tidak kelihatan. Lalu, jatuh lagi di atas kasur.
Agisna seolah mempunyai kekuatan. Dia berjalan mendekati bayi.
Dada bayi Wini tidak bergerak naik turun. Bayi itu tidak bernapas lagi. Mendadak mati.
Agisna membangunkan Wini. Mereka membuka baju bayi. Ada bekas telapak tangan orang dewasa berwarna merah di dada bayi.
Wini pun menjerit. Menangis histeris. Meratapi kepergian bayinya.
Beberapa minggu kemudian, Wini bercerai dengan suaminya. Entah apa penyebabnya. Wini kembali menjadi janda.
Suatu malam, wajah Wini tiba-tiba gatal hebat. Untuk meredakannya, dia mengoleskan salep gatal. Namun, tidak mempan. Rasa gatal di wajahnya justru semakin menjadi.
Pagi harinya, setengah wajah Wini membusuk. Ratusan belatung keluar dari kulit wajahnya. Mengerikan!
Kondisi wajah Wini itu membuat Agisna teringat dengan pocong di samping Nek Imah ketika masih hidup. Saat Agisna hendak mengambil foto neneknya menggunakan kamera handphone.
Wajah pocong itu sama persis dengan wajah Wini. Setengah wajah pocong membusuk. Penuh belatung.
Wini mati-matian berusaha mengobati wajahnya. Setiap hari, dia berdiri di depan cermin di dalam kamarnya. Dia mengoleskan salep.
Tapi, saat Agisna melintas di depan pintu kamar Wini yang terbuka, dia tidak melihat bayangan wajah bibinya itu di cermin. Bayangan di dalam cermin adalah pocong dengan setengah wajah membusuk penuh belatung.