Bahaya Brain Rot, Fenomena Digital yang Diam-Diam Menurunkan Fokus dan Produktivitas

--
INFORADAR.ID - Di tengah era digital yang serba cepat, banyak orang mulai merasakan penurunan kemampuan otak untuk fokus, berpikir mendalam, dan berinovasi.
Fenomena ini dikenal sebagai brain rot, sebuah istilah populer yang belakangan ramai dibicarakan di media sosial dan kanal edukasi.
Salah satu kanal yang mengulasnya secara mendalam yaitu Belajar Memahami, melalui video berjudul “Bahaya Brain Rot: Kenapa Kita jadi makin bodoh dan malas?”
Video berdurasi 10 menit 7 detik ini telah ditonton lebih dari 275 ribu kali sejak diunggah empat minggu lalu, mendapat 13 ribu like, dan dibanjiri 388 komentar dari warganet yang merasa relate dengan kondisi tersebut.
Kanal ini sendiri memiliki 14,9 ribu subscriber dan dikenal kerap menyajikan konten edukatif bertema psikologi populer, kebiasaan digital, dan pengembangan diri.
BACA JUGA:Shakira CoC : 1000 Hari Pertama, Waktu Paling Penting Menjadi Pintar
Dalam videonya, brain rot dijelaskan sebagai kondisi di mana otak mengalami penurunan fungsi kognitif secara perlahan akibat terlalu sering mengonsumsi konten singkat, cepat, dan instan.
Meskipun bukan tergolong penyakit medis, kondisi ini berdampak signifikan terhadap kehidupan sehari-hari.
Gangguan konsentrasi, menurunnya kemampuan berpikir kritis, hilangnya kreativitas, bahkan peningkatan kecemasan dan depresi menjadi gejala umum dari brain rot.
Fenomena ini diperkuat oleh temuan dari sejumlah penelitian, seperti yang dipaparkan oleh Universitas Stanford dan Universitas Harvard yang menyebut bahwa konsumsi konten instan secara berlebihan mampu mengubah cara kerja otak manusia.
Otak yang terbiasa mendapatkan rangsangan instan seperti video pendek, notifikasi media sosial, dan konten viral, perlahan kehilangan kemampuan untuk bertahan dalam aktivitas yang membutuhkan pemikiran mendalam dan fokus berkepanjangan.
Tak hanya dari sisi konten, video ini juga membahas bagaimana algoritma media sosial turut memperparah fenomena brain rot.
Platform seperti TikTok dan YouTube menggunakan algoritma canggih untuk menyajikan konten sesuai preferensi pengguna yang secara tidak langsung memperkuat kebiasaan mengonsumsi informasi dangkal dan mempercepat adaptasi otak terhadap pola berpikir instan.
Lebih dari itu, adanya hormon dopamin yang dilepaskan otak setiap kali menerima rangsangan seperti notifikasi atau video menarik membuat pengguna ketagihan. Namun, secara bersamaan menguras energi kognitif otak untuk hal-hal yang bersifat lebih substansial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: