LPM SiGMA dan LSF Bedah Film The Trial of the Chicago 7 Untuk Membuka Nalar Kritis Mahasiswa

LPM SiGMA dan LSF Bedah Film The Trial of the Chicago 7 Untuk Membuka Nalar Kritis Mahasiswa

Pelaksanaan Acara bedah film The Trial Of The Chicago 7 --Dokumentasi Pribadi Lydia Khaerani

INFORADAR.ID - Lembaga Pers Mahasiswa atau LPM SiGMA bekerja sama dengan Lingkar Studi Feminis (LSF) dalam diskusi film The Trial of the Chicago 7, sebuah film yang mengangkat persidangan kontroversial di Amerika Serikat. Acara ini berlangsung pada Kamis, 27 Februari 2025, di Kampus 1 UIN SMH Banten.

Diskusi film yang digelar LPM SiGMA ini tidak hanya bertujuan untuk memahami alur cerita, tetapi juga mengaitkannya dengan situasi hukum dan politik di Indonesia saat ini. Acara diawali dengan sesi nonton bareng (nobar) sebelum peserta dibagi ke dalam kelompok diskusi.

Metode yang digunakan LPM SiGMA dan LSF ini berbeda dari diskusi film pada umumnya yang mengandalkan sesi tanya jawab antara narasumber dan peserta. 

Kali ini, setiap peserta diberikan kesempatan menyampaikan perasaan dan pemikirannya setelah menonton film tersebut. Banyak diantaranya menyatakan merasa miris dan prihatin terhadap hukum yang keji pada adegan film tersebut.

Ardhi, selaku narasumber, menyoroti dua aspek utama dalam film ini, yaitu perdebatan ideologi dan tindakan represif aparat terhadap kelompok revolusioner. Menurutnya, film ini menunjukkan bagaimana gerakan kiri memperjuangkan hak-hak sipil, tetapi justru dikriminalisasi oleh negara.

BACA JUGA:Krakatau Steel Ekspor Baja ke Amerika Serikat

BACA JUGA:Kejagung Tetapkan 2 Tersangka Baru dalam Kasus Korupsi BBM di Pertamina Patra Niaga

"Persidangan dalam film ini sejak awal sudah cacat hukum karena dibuat untuk menghukum para aktivis. Ini menunjukkan bagaimana hukum bisa menjadi alat untuk menindas, bukan melindungi masyarakat. Jika kita tarik ke konteks Indonesia, kita melihat pola serupa dalam berbagai kasus hukum yang melibatkan rakyat kecil," ujar Ardhi.

Ia juga mencontohkan beberapa kasus di Indonesia, seperti kasus agraria di Padarincang dan tragedi Kanjuruhan. Dalam kasus-kasus tersebut, hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan justru berpihak pada kepentingan tertentu. "Kita sebagai anak muda perlu memahami bahwa hukum di Indonesia tidak selalu berpihak pada rakyat. Oleh karena itu, gerakan sosial menjadi penting untuk memastikan bahwa suara kita tetap didengar," tambahnya.

Eva, selaku fasilitator dari LSF, menegaskan bahwa tujuan utama dari diskusi ini diadakan adalah untuk membangun kesadaran kolektif di kalangan anak muda. "Musuh kita bersama adalah ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Film ini membantu kita melihat bagaimana sistem hukum bekerja dan bagaimana rakyat bisa berjuang untuk mengubahnya. Oligarki masih sangat kuat di Indonesia, termasuk di Banten. Oleh karena itu, kita harus terus menyuarakan keresahan kita," jelasnya.

Sementara itu, Najib dari LPM SiGMA menyatakan bahwa kolaborasi ini merupakan langkah awal dalam membangun diskusi yang lebih luas di kalangan mahasiswa. "Sebagai anak muda, kita harus menyuarakan isu-isu penting yang membuka nalar kritis. Film ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana hukum sering kali digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan keadilan," katanya.

BACA JUGA:Aliansi Pers Mahasiswa Serang Gelar Bedah Film Cut to Cut, Soroti Hak Pekerja

BACA JUGA:Mahasiswa PPL STKIP Syekh Manshur Bantu Siswa SDN Karyawangi 1 sampai Raih Banyak Prestasi di OSN Kecamatan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: