Perjuangan Nisa Sri Wahyuni, Anak Pembantu Rumah Tangga, Gagal 7 Kali, Akhirnya Raih Beasiswa LPDP
Percobaan ke delapan di LPDP menjadi titik terangnya yang menghantarkan perempuan berhijab ini menuju Imperial College London. (Foto : --- Dokumentasi Pribadi)--
Percobaan ke delapan di LPDP menjadi titik terangnya yang menghantarkan perempuan berhijab ini menuju Imperial College London. Namun, hal itu juga tak semulus kedengarannya. IELTS menjadi protagonis yang hampir menggagalkan rencananya. Ikhtiarnya yang sampai menuju Yogyakarta dan Surabaya untuk meningkatkan kemampuan IELTS-nya, dan 5 kali pengujian, hingga ia berhasil memperoleh nilai 6,5 pun belum mampu meluluskannya. Ini karena kampus yang ia tuju mematok angka 7 sebagai standar skor IELTS.
"Akhirnya di minggu pertama bulan September, Aku melihat ternyata di peraturan Imperial itu ada tulisan: Jika ada kontribusi yang signifikan di bidang yang kita geluti (maka bisa untuk menambah nilai)", jelas Nisa.
Dia kemudian teringat tentang kegiatannya berkecimpung dalam organisasi kesehatan untuk membantu para pasien kanker selama setahun setelah dia lulus kuliah. "Programnya itu sifatnya membantu pasien kanker yang kesulitan untuk bisa menyelesaikan treatment cancer-nya", jelasnya.
Kegiatan yang dia bangun dari nol sampai akhirnya berjalan itu akhirnya membawa Nisa melengkapi persyaratan menjadi salah satu mahasiswa Imperial College London meski ia sempat berada di momen “iya atau tidak” untuk bisa lulus dan berangkat.
"Atas izin Allah aku bisa tahu ada peraturan itu, dan atas izin Allah juga karena aku sudah bekerja. Dan atas izin Allah juga aku nekat (mengikuti) tes yang kelima ke Surabaya. Karena kalau dipikir-pikir sebenarnya it is impossible. Seandainya aku berhenti di bulan Juli waktu itu, aku mungkin nggak akan berangkat (ke London)", ungkapnya.
Epidemiologi, Pandemi dan Toleransi
Bidang epidemiologi menjadi pelabuhan Nisa selanjutnya. Ketika ditanya mengapa harus epidemiologi dia mengakui bahwa dia memang sudah jatuh cinta dengan keilmuannya ketika masih menjadi mahasiswa baru (di S-1).
"Epidemiologi itu adalah detektif kesehatan di populasi atau komunitas", tambahnya.
Itulah yang ia rasakan saat ini ketika bekerja sebagai salah satu konsultan bagi World Health Organization (WHO). Dia mendalami keilmuannya tentang imunisasi, vaksinasi, dan surveilans.
Perjuangannya menempuh pendidikan di Inggris berlanjut di kampusnya. Kendala bahasa dari para dosen yang berasal dari berbagai negara dan memiliki aksen yang berbeda-beda menjadi salah satu faktor yang membuatnya menangis di bulan-bulan pertama di London. Beruntung ada sahabat yang berhasil membantu melewatinya. Selain itu, sistem pendidikan di kampusnya juga mengharuskan Nisa untuk lebih bekerja keras dibanding saat ia menempuh pendidikan pada jenjang sebelumnya.
Namun, toleransi antar satu dan lainnya menjadi penawar yang mujarab bagi Nisa melewati berbagai kendala di London.
"Hal-hal yang sifatnya culture ‘nggak ada yang syok banget sih karena menurutku semua orang di sana super welcome dan nggak ada yang judge", jelas perempuan 27 tahun tersebut.
Selain itu, menurut Nisa, bukan hanya ilmu pendidikan yang dia dapat. Nisa mengaku ia juga memperoleh ilmu dalam bersikap, seperti yang ditunjukkan oleh para dosen yang mengajarkan bagaimana menjadi pengajar yang baik.
Jaga Amanah di Setiap Langkah
Keluarga merupakan tiang penopang utama bagi Nisa dalam menjalani hari-harinya. "Orang tuaku is the biggest inspiration", kata Nisa dengan bangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: