Tren Job Hugging di Kalangan Gen Z dan Milenial, Apa Dampaknya?

Kamis 18-09-2025,13:20 WIB
Reporter : Ghina Aulia Az-Zahra
Editor : Haidaroh

INFORADAR.ID - Belakangan ini istilah tren job hugging semakin sering dibicarakan di dunia kerja, terutama di kalangan Gen Z dan milenial.

Jika sebelumnya populer job hopping yang berarti sering berpindah tempat kerja demi gaji dan pengalaman baru, kini muncul kebalikannya.

Tren job hugging menggambarkan kondisi ketika seseorang memilih bertahan di sebuah pekerjaan meski merasa tidak bahagia atau tidak puas.

Fenomena ini menjadi cerminan nyata bagaimana generasi muda berusaha bertahan di tengah ketidakpastian dunia kerja.

Para ahli menegaskan bahwa tren job hugging bukan sekadar pilihan aman, tetapi juga membawa risiko bagi perkembangan karier individu maupun masa depan perusahaan.

BACA JUGA:Penyaluran Dana Sekolah Swasta di Banten Masih Tertunda, Ditarget Rampung Akhir September

BACA JUGA:Aturan Baru BBM Subsidi, Pertalite Tak Lagi Bebas Digunakan Semua Kendaraan

Apa yang Dimaksud dengan Job Hugging?

Job hugging adalah kebiasaan karyawan untuk tetap bertahan meski pekerjaannya tidak memberikan kepuasan.

Berbeda dengan job hopping yang membuka peluang untuk belajar hal baru dan mengembangkan jenjang karier lebih cepat, job hugging lahir dari ketakutan menghadapi ketidakpastian pasar kerja.

Rebecca Houghton, pendiri BoldHR, menyampaikan bahwa banyak orang tidak bertahan karena mencintai pekerjaannya, melainkan karena mereka menganggap pilihan lain di luar sana lebih berisiko.

Mengapa Tren Job Hugging Terjadi ?

Fenomena ini muncul karena berbagai alasan yang saling berkaitan. Ketidakstabilan ekonomi global membuat banyak orang merasa khawatir untuk mengambil langkah baru. Restrukturisasi perusahaan menambah rasa cemas bahwa posisi mereka bisa terancam sewaktu-waktu.

Perkembangan teknologi, terutama kecerdasan buatan, juga menimbulkan kekhawatiran bahwa banyak profesi akan digantikan mesin.

Selain itu, tingkat kelelahan kerja atau burnout yang semakin tinggi, khususnya di kalangan manajer, membuat banyak pekerja lebih memilih bertahan di zona aman.

Meski tidak bahagia, rasa familiar dianggap lebih menenangkan daripada harus menghadapi ketidakpastian di luar.

BACA JUGA:Kenapa KRL Jabodetabek Belum Bisa Lanjut ke Karawang? Ini Alasannya

BACA JUGA:Mantap! 7.000 Lapangan Kerja Baru Siap Dibuka Lewat Kampung Nelayan Merah Putih

Dampak Job Hugging bagi Dunia Kerja

Sekilas, tren ini terlihat menguntungkan karena jumlah karyawan yang keluar dari perusahaan menjadi lebih sedikit. Namun para pakar justru menilai hal ini bisa berbahaya.

Karyawan yang bertahan hanya karena takut mengambil risiko biasanya tidak benar-benar loyal.

Begitu ada kesempatan yang lebih baik, mereka akan meninggalkan perusahaan secara diam-diam dan cepat.

Rebecca Houghton menekankan bahwa perusahaan sebaiknya tidak tinggal diam.

Lingkungan kerja perlu dibangun agar karyawan merasa nyaman, dihargai, dan memiliki peluang berkembang. Dengan begitu, mereka akan memilih bertahan bukan karena terpaksa, melainkan karena benar-benar ingin.

Australia menjadi salah satu negara dengan tren job hugging terbesar. Data Februari 2025 menunjukkan mobilitas kerja hanya 7,7 persen atau sekitar 1,1 juta orang berganti pekerjaan, turun dari 9,6 persen saat pandemi.

Perusahaan perlu menghadirkan lingkungan kerja yang mendukung dan memberi ruang bagi pertumbuhan karyawan.

Sementara itu, pekerja juga sebaiknya menimbang kembali keputusan untuk bertahan, apakah karena benar-benar nyaman atau hanya sekadar menghindari risiko.

Kategori :