Mengenal Desa Trunyan Bali, Tradisi Pemakaman yang Hanya Diletakkan di Pohon Taru Menyan

Kamis 21-12-2023,17:30 WIB
Reporter : Nuraini Wildayati Kamilah
Editor : Haidaroh

INFORADAR.ID - Bali terkenal dengan keanekaragaman tempat wisatanya. Mulai dari pantai, gunung, danau, kuliner, dan desa wisata. Ada sebuah desa wisata yang terkenal di Bali, khususnya di daerah Kintamani. Namanya Desa Trunyan.

Desa Trunyan adalah sebuah desa di Kecamatan Kintamani, Bangli, yang dikenal dengan tradisi pemakaman yang unik. 

Warga Desa Trunyan yang meninggal di sana tidak dikubur atau dikremasi, melainkan disemayamkan di bawah pohon Taru Menyan. Pohon inilah yang nantinya menghilangkan bau mayat.

Bagaimana asal-usulnya? Apakah ada sejarah yang terkait dengannya? Simak informasinya di bawah ini.

Asal Usul Desa Trunyan

Pada mulanya, hidup seorang Raja Surakarta. Ia mempunyai empat orang anak yang terdiri dari tiga lelaki dan satu perempuan. Suatu kali, keempat anaknya mengendus bau harum entah dari mana. Si anak bungsu, perempuan mengatakan bahwa bau harum berasal dari timur

Mereka memohon izin kepada Raja Surakarta untuk mencari bau itu. Sang Raja mengizinkannya. Lalu, mereka berangkat menuju arah timur. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan, mereka tiba di Bali. Semakin semerbak baunya, mereka semakin penasaran.

Perjalanan dilanjutkan hingga terhenti di Gunung Batur. Si bungsu memohon izin kepada ketiga kakaknya untuk menetap di situ. Ia merasa aman dan nyaman. Ketiga kakaknya memberikan izin. Si bungsu, yang kemudian menetap di sana, mendapat gelar Ratu Ayu Mas Maketeg.

Singkat cerita, ketiga lelaki itu melanjutkan perjalanan. Namun, dalam perjalanan pertikaian terjadi di antara anak pertama dan anak ketiga. Anak pertama menendang anak ketiga karena kesal melihat tingkah laku anak ketiga yang terlampaui girang. Hal ini disebabkan anak ketiga mendengar suara burung yang sungguh merdu.

BACA JUGA:Cerita Mistis Alas Roban di Jalur Tengkorak yang Angker dan Kerap Menelan Korban Jiwa

Peristiwa itu mengakibatkan anak ketiga jatuh yang kemudian menjadi duduk bersila. Pose tersebut bisa dilihat ketika melangkah ke Desa Kedisan, Pura Dalem Pingit. Anak ketiga diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero. 

Perjalanan berlanjut yang menyisakan anak pertama dan kedua. Di tengah perjalanan, dan sampai di Danau Batur, mereka melihat dua perempuan cantik. Anak kedua ingin menyapanya namun dicegah oleh anak pertama. Alhasil, terjadi adu mulut yang menyebabkan anak pertama melakukan tindakan seperti sebelumnya. Ia menendang anak kedua hingga jatuh tertelungkup. Kelak, di tempat tersebut dinamakan Desa Abang Dukuh.

Anak pertama tinggal sendirian. Ia kembali melangkah untuk menuju bau harum itu hingga akhirnya mencapai Pohon Taru Menyan. Di sana ada seorang perempuan yang cantik dan menawan. Anak pertama terpesona hingga memiliki hasrat untuk memilikinya.

Si perempuan setuju dan mereka pun menikah. Kemudian, untuk menjadi seorang pemimpin di situ, anak pertama diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat. Kelak, ia menjadi dewa tertinggi di Desa Trunyan. Sedangkan si istri mendapatkan gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Kelak, ia menjadi pelindung Danau Batur.

Ratu Sakti Pancering Jagat ingin mengamankan daerahnya dari ancaman pihak luar. Oleh karena itu, ketika ada yang wafat, jenazahnya tidak dikubur melainkan ditaruh di dekat Pohon Taru Menyan. Pohon itulah yang mengaburkan bau jenazah dan mengeluarkan bau harum. Taru berarti pohon dan Menyan berarti harum.

Kategori :