Keempat, selalu butuh kepastian. Dikarenakan melihat keluarganya sendiri, Gen Z yang mempunyai kondisi daddy issues biasanya selalu membutuhkan kepastian dari pasangannya.
Bahkan mereka tidak segan-segan untuk menanyakan hal yang sama berkali-kali hanya untuk memastikan apakah hal itu benar. Contohnya, mereka akan menanyakan “kamu sayang sama aku gak?”, “menurut kamu aku cantik gak?” berkali-kali untuk mendapatkan validasi, yang tidak jarang akan membuat pasangannya lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama.
Menurut pendapat saya dikarenakan dampak-dampak tersebut, Gen Z yang mengidap daddy issues bisa membuat orang orang di sekitarnya resah dan terganggu karena jadi banyak orang yang menyalahgunakan kondisi ini.
Contohnya, ketika mereka berada di suatu masalah kepercayaan, mereka akan berlindung dibalik kata “Aku kan punya daddy issues, jadi tolonglah aku dimengerti”. Itu sekali lagi akan sangat mengganggu bagi orang yang ada disekitarnya.
Walaupun demikian, hal-hal tersebut bisa diatasi supaya tidak menimbulkan ketidaknyamanan untuk orang lain. Cara apa sajakah yang dapat dilakukan Gen Z untuk mengatasi hal tersebut?
Pertama, cobalah berdamai dengan masa lalu. Terkadang memang sulit untuk berdamai dengan masa lalu yang sangat traumatis. Namun bagaimanapun di dalam hidup ini kita harus bisa berdamai dan mulai memaafkan kesalahan ayah kita sendiri.
Kedua, fokus pada masa kini. Kita tidak bisa terus-terusan tenggelam pada masa lalu. Kita harus bisa bangkit dan berjanji pada diri sendiri bahwa kita harus bisa bahagia.
Ketiga, bahagiakan diri sendiri dan coba untuk tidak bergantung kepada orang lain, karena kebahagiaan diri kita lebih penting dari segalanya.
Keempat, meminta bantuan kepada profesional. Jika tidak kunjung menemukan solusi dan titik terang terkait masalah ini, mungkin Gen Z bisa pergi ke psikolog. Di sana mereka akan mendapatkan bantuan yang tepat untuk mengatur emosi dan trauma pada diri mereka.
Jadi itu adalah hal-hal yang mungkin bisa Gen Z lakukan jika mengalami kondisi daddy issues. Mereka harus bisa memaafkan hal yang sudah terjadi di masa lampau dan mulai coba untuk membahagiakan diri mereka sendiri terlebih dahulu supaya tidak menimbulkan rasa yang tidak nyaman antara diri mereka dengan yang lainnya. (*) (Rhesita Sashi Aulianty, Mahasiswi Untirta)