JAKARTA, INFORADAR.ID-Penghitungan daluwarsa kasus pemalsuan surat yang termuat dalam Pasal 79 angka 1 KUH Pidana kini tak lagi dapat ditafsirkan beragam. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 188/PUU-xx/2022 menegaskan penghitungan daluawarsa harus dimaknai sesudah barang yang dipalsu itu diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian.
Sidang putusan pengujian undang-undang (PUU) Nomor 188/PUU-xx/2022 itu dibacakan di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa, 31 Januari 2023.
Diketahui, tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 KUH Pidana. Tindak pidana pemalsuan surat adalah delik sengaja, bukan delik kelalaian (culpa). Ketentuan ini pada dasarnya melindungi kepentingan umum yakni kepercayaan warga dalam hubungan masyarakat serta timbulnya kerugian.
Unsur kerugian yang timbul berdasarkan Pasal 263 KUH Pidana tidak harus bersifat materiil, tetapi juga apabila kepentingan masyarakat dapat dirugikan, misalnya penggunaan surat yang dipalsukan itu dapat menyulitkan pengusutan suatu perkara.
Dijelaskan Hakim Konstiusi Suhartoyo, kriteria pemalsuan surat harus bermakna menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli, penggunaannya harus mendatangkan kerugian. Selain itu, hukuman harus diberikan bukan hanya bagi pemalsu surat, tetapi juga pengguna yang mengetahui surat tersebut palsu. Jika pengguna tidak tahu, maka tidak dihukum.
Sementara surat palsu dianggap sudah digunakan, jika surat sudah diserahkan kepada orang lain atau menyerahkan surat itu di tempat di mana surat tersebut diperlukan. Pengguna surat palsu tersebut harus dibuktikan telah bertindak seolah-olah surat itu asli, dan perbuatannya dapat mendatangkan kerugian.
Nah, untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana diatur Pasal 79 angka 1 KUH Pidana, Juliana Helemaya dan Asril selaku pemohon mengajukan pengujian Pasal 79 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau yang dikenal KUH Pidana.
Pada perkara itu, para pemohon mencontohkan kasus konkret pada penyidik Polda Riau dan Polresta Pekanbaru dalam menerapkan ketentuan daluwarsa pemalsuan surat. Para aparat hukum tersebut menghitung daluwarsa surat palsu adalah sejak surat yang diduga keras palsu itu digunakan, sedangkan dalam beberapa putusan pengadilan dan pendapat para ahli hukum berbeda satu sama lain. Misalnya, Putusan MA Nomor 2224 K/Pid/2009, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 261/Pid/2014/PT.Bdg, Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Praperadilan nomor 05/Pid.Pra/2018/PN.Pbr. Menurut para Pemohon, berdasarkan pasal yang diujikan ini penerapan penghitungan daluwarsa tindak pidana pemalsuan surat dan/atau surat otentik oleh para penegak hukum, baik Polri, jaksa, hakim, dan pengacara ditafsirkan saling berbeda satu dengan lainnya sesuai pendapat masing-masing. Sehingga perlindungan terhadap hak-hak korban dan/atau pelapor dan/atau pihak yang dirugikan tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.