Hari ganjil selanjutnya meningkat. Ria dibacok dengan senjata tajam. Dari senjata tajam berukuran kecil sampai yang berukuran besar.
“Tetap ada bekasnya, tapi tidak kerasa sakit,” kata Ria.
Pada hari terakhir, puasa ke-41, tes yang harus dilalui Ria jauh lebih ekstrem. Tubuhnya ditimpa dengan road barrier dari beton. Gurunya sampai mendatangkan alat berat untuk mengangkat beton pembatas jalan itu.
Ajaib. Ria tidak terluka. Dia pun dinyatakan lulus menguasai ilmu kebal.
“Gue membuktikannya. Tawuran pertama setelah dapat ilmu kebal. Gue dibacok dengan klewang berkali-kali. Tidak mempan,” aku Ria.
Ria belum puas. Dia tetap mencari ilmu kebal yang lebih tinggi.
Kali ini, niatnya bukan cuma agar disegani. Bukan cuma untuk bekal tawuran.
Ria bertekad menguasai ilmu kebal yang lebih tinggi agar setiap laki-laki tunduk padanya. Dia sakit hati dan dendam kepada laki-laki.
“Bukan gue yang disakiti, tapi sahabat gue. Sahabat-sahabat gue banyak yang dikawin muda, masih SMP, lalu ditinggalin,” tandas Ria.
“Gue dapat ilmu kebal yang lebih tinggi. Rambut gue nggak mempan dipotong,” sambungnya.
Ketika lulus SMA, tahun 2012, prahara kembali menerpa keluarga Ria. Keluarganya dihina, direndahkan oleh orang. Bapak kandung Ria difitnah.
“Keluarga gue miskin. Gue dan keluarga gue nggak punya power untuk membalas,” ujarnya.
Dendam di hati Ria mengkristal. Dia kembali menemui gurunya di Banten. Dia menceritakan prahara yang menimpa keluarganya.
Oleh gurunya, Ria ditawari ilmu santet, teluh atau tenung, dan guna-guna.
Ria langsung menerima tawaran itu. Dia teringat dengan nasib kakeknya. Menjadi korban santet.
Ritual pun dilakoni. Ria harus bersemedi dengan berendam di sebuah telaga. Selama 41 hari. Tidak makan. Tidak minum. Tidak beranjak dari telaga.