Hari mengerjakan laporannya di tempat tidur. Hari tengkurap.
Tiba-tiba, Hari diduduki Kuntilanak. Hari dipeluk dari belakang tubuhnya. Tangan Kuntilanak menutupi wajah Hari.
Hari ketakutan. Berlari keluar rumah. Menyusul mahasiswa lain yang tengah ikut kerja bakti.
Fuji yang tahu gelagat Hari, membawanya menjauh dari para mahasiswa dan warga.
Hari dibawa ke balai desa. Di situ, Hari menceritakan pengalaman yang baru dialaminya.
“Saya bilang ke Hari kalau gue, Dewi sudah mengalami. Mungkin sekarang elu,” kata Fuji.
Lagi-lagi, Fuji meminta agar Hari tidak menceritakan sosok Kuntilanak yang mengganggunya.
Obrolan Fuji dan Hari rupanya didengar oleh salah satu pemuda desa. Pemuda itupun memberikan informasi bahwa rumah yang dijadikan mahasiswa menginap selama KKN, merupakan rumah yang telah kosong selama 20 tahun.
Pemuda desa itu bilang, pemilik rumah itu seorang saudagar kaya. Namun, sudah meninggal dunia. Jadi tumbal pesugihan.
Anak dan istri si saudagar juga telah meninggal dunia. Bahkan, terlebih dulu dibandingkan si saudagar. Mereka dijadikan tumbal pesugihan.
Keyakinan warga desa, karena jenazah istri dan anak-anak si saudagar ditemukan dalam keadaan tidak wajar. Bola matanya hilang.
Si saudagar juga sama. Jenazahnya ditemukan tanpa bola mata.
Fuji dan Hari lalu kembali ke rumah. Pas sampai di rumah, mereka mendapati Fery kesurupan.
“Sia kabeh bakalan paeh. Sia kabeh bakalan jadi tumbal ku aing (Kamu semua bakal mati. Kamu semua bakal jadi tumbal saya),” kata Fery yang kesurupan.
Fuji melawan. “Saya bilang, yang menentukan hidup dan mati hanya Allah. Kamu cuma setan. Kita ke sini tidak mengganggu. Kenapa kamu mengganggu kita”.
“Kabeh geus aya direncana ku si lurah. Kalian nu aya didie bakal jadi tumbal aing. Satu-satu kumangsa (Semua sudah ada direncanakan si lurah. Kalian yang ada di sini bakal jadi tumbal saya. Satu-satu akan saya mangsa)”.