Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama untuk Tegakkan Moralitas dan Etika di Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama untuk Tegakkan Moralitas dan Etika di Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Potret saat diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara : Etika dan Agama di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat, 20 September 2024.--

“Ini ada masalah pada media sosial. Di kalangan netizen, saya melihat banyak pikiran busuk. (Tapi) Ini masalah netizen, bukan masaah citizen. Kelihatannya citizen tidak bermasalah besar,” ujar Moch Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin Makassar.

Di sisi lain, paradoks keagamaan sendiri juga memiliki banyak problematika. Di antaranya paradoks Ketuhanan yang Maha Esa yang bersifat mandatory monotheism yang memformalisasi kepercayaan dan mengklaster kepercayaan menjadi sebuah agama tertentu sehingga memaksa keseragaman dalam beragama. 

Selain itu juga paradoks harmoni beragama yang tidak tercipta karena adanya pembatasan hak umat oleh negara karena faktor keamanan dan ketenangan di masyarakat, hingga pengkelasan dan favoritisasi dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga menyebabkan segregasi sosial yang berdampak baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. 

Paradoks yang terakhir adalah paradoks ketidakselarasan antara agama dengan perilaku niretika masyarakat beragama yang ternyata berbanding terbalik dengan praktik sarat etika pada negara yang justru sekuler.

“Paradoks negara beragama dan berketuhanan, ada korelasi yang sepertinya negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya agama,” ujar Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Di tengah segala problematika tersebut, yang paling destruktif adalah budaya Machiavelisme yang mengacu pada pandangan bahwa penguasa harus mengutamakan efektivitas dan pragmatisme daripada etika dan moralitas sehingga menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kekuasaan dan menabrak sendi-sendi moralitas. 

Contoh jenis machiavelisme yaitu praktik korupsi, tidak adil, krisis moralitas, politisasi agama, erosi kepercayaan publik, rendahnya pengendalian diri, budaya transaksional dan rendahnya tanggung jawab. 

“Ini satu penyakit dalam politik dan mengacu pada seseorang atau kelompok orang yang bersifat manipulatif, tidak etis, dan instrumental dalam hubungan antar pribadi. Jadi yang penting adalah bagaiman mempertahankan kekuasaan,” tukas Budhy Munawar Rachman, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Pada akhirnya menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan Plurality Without Equity yang menciptakan problem kemiskinan, dan ketidakadilan struktural di masyarakat. 

Selain itu, problem mayoritas dan minoritas juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keadilan dan kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. 

“Mayoritanisme ini terjadi di dalam berbagai hal dan menentukan kebijakan termausk kesadaran politik palsu di Masyarakat,” ujar Izak Lattu, Akademisi Universitas Satya Wacana Salatiga.

Maka dari itu pada kesimpulannya adalah apalah arti keunggulan agama jika agama sebagai sumber etik utama tidak mampu mempengaruhi perilaku penyelenggara negara.

Oleh karena itu dalam diskusi kerapuhan etika dengan tema etika dan agama ini menghasilkan rekomendasi sebagai berikut :

Hukum:

-Memasukkan nilai-nilai agama yang universal ke dalam Undang-undang Etik sehingga nilai-nilai agama tidak hanya sebagai nilai moral yang abstrak, tetapi juga keputusan tertulis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: