Lima ART Ajukan Judicial Review, MK : Pekerja Rumahan Sudah Dilindungi Hukum

Lima ART Ajukan Judicial Review, MK : Pekerja Rumahan Sudah Dilindungi Hukum

Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pertimbangan hukum Mahkamah pada sidang putusan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Selasa, 31 Januari 2023 di Ruang Sidang MK. Foto Humas MK--

JAKARTA, INFORADAR.ID - Judicial review atau pengujian atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) oleh lima orang asisten rumah tangga (ART) ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 31 Januari 2023. 

MK menilai Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang diujikan para pemohon ini tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi. Putusan Nomor 75/PUU-XX/2022 itu dibacakan dalam sidang yang digelar, Selasa, 31 Januari 2023, di Ruang Sidang Pleno MK. 

“Berdasarkan penilaian dan fakta hukum, amar putusan mengadili menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dikutip INFORADAR.CO.ID dari www.MKRI.ID, Selasa, 31 Januari 2023

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat perlindungan terhadap pekerja rumahan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Di antaranya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. 

Manahan menyebutkan Pemerintah atau Kementerian yang menangani urusan ketenagakerjaan seharusnya dapat membuat aturan khusus bagi pekerja rumahan, yang dapat diwujudkan melalui peraturan daerah. Sehingga hak-hak pekerja rumahan dapat terlindungi secara baik dan kesejahteraannya juga dapat terjaga sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.

Pengaturan tersebut perlu dilakukan karena pekerja rumahan memiliki karakteristik berbeda dari pekerja formil. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Sehingga tugas dan tanggung jawab negara terhadap pekerja rumahan dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, ketentuan norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang diujikan pada perkara ini tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi, ketidaksamaan kedudukan hukum, dan tidak menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja atas perlindungan yang layak sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat 1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Manahan. 

Sebelumnya, lima pekerja rumahan yang terdiri dari Muhayati (Pemohon I), Een Sunarsih (Pemohon II), Dewiyah (Pemohon III), Kurniyah (Pemohon IV), Sumini (Pemohon V) mengajukan uji materiil Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).  

Dalam permohonan tersebut, didalilkan hubungan kerja melalui perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja seperti dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan, MK berpendapat norma tersebut sejatinya direkonstruksi untuk mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang mengacu pada perjanjian kerja tertulis. Di dalam perjanjian tersebut memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. 

Selain itu, norma tersebut mengatur secara detail hal-hal yang harus ada dalam sebuah perjanjian kerja. Isinya sedikitnya memuat nama, alamat perusahaan, jenis usaha, besarnya upah, dan lainnya. Oleh karenanya, MK menilai UU Ketenagakerjaan hadir untuk menjamin hak dasar pekerja untuk mewujudkan pekerja dengan tetap memerhatikan kebutuhan dan kemajuan dunia usaha. 

Bahwa sehubungan dengan dalil pemohon tentang definisi hubungan kerja dalam norma tersebut telah menimbulkan kerancuan hukum, maka MK telah memberikan gambaran jelas terhadap unsur yang wajib ada pada sebuah perjanjian kerja. Sehingga kekhawatiran pemohon tidak tepat dihilangkan hanya dengan cara menyisipkan frasa ‘pemberi kerja’ dalam norma Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan.

Selain itu MK berpendapat pasal a quo juga dikonstruksikan untuk mengatur hubungan kerja dan pekerja yang mengacu pada perjanjian kerja tertulis. Dengan demikian dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.  

Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan pihaknya merupakan pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Pada satu kesempatan mereka mendapat perintah kerja dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. 

Pada 2017, para pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan, tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU Ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, sejatinya pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja, namun kenyataan di lapangan justru dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan, karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut Pemohon, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: