Tiket Masuk Candi Borobudur Rp 750 Ribu, Warga: "Ya Allah, Kenaikan Apalagi Ini?"

Tiket Masuk Candi Borobudur Rp 750 Ribu, Warga:

Luhut Binsar Panjaitan -Foto: Screenshoot web babel pos sumeks-

INFORADAR.ID - Pemerintah berencana menaikkan harga tiket masuk ke Candi Borobudur yang besarnya fantastis. Dari sebelumnya Rp 50 ribu menjadi Rp 750 ribu untuk wisatawan domestik dan 100 USD atau sekitar Rp 1,4 juta untuk wisatawan asing. Dari sebelumnya sebesar Rp 350 ribu. 

Kenaikan harga tiket tersebut diiringi dengan pembatasan jumlah pengunjung yang hanya 1.200 orang per hari. 

Pengumuman itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Apa alasan pemerintah menaikkan tarif yang sangat tinggi tersebur? Kata dia, untuk melindungi dan menjaga kelestarian sejarah dan budaya Indonesia. 

Apapun alasannya, kenaikan yang besarnya tidak kira-kira ini langsung mengagetkan warga. "Ya Allah, kenaikan apalagi ini? Yang bener saja. Tadinya hanya Rp 50 ribu, sekarang naik jadi Rp 750 ribu itu berapa ratus persen?" tanya Mama Citra, warga Sepang, Kota Serang.

Mama Citra yang semula pengin berwisata ke Candi Borobudur pada pertemgahan Juli 2022, langsung membatalkan niatnya.

Kata Mama Citra, Candi Borobudur adalah peninggalan benda bersejarah, yang setiap orang pengin mengetahui dan datang langsung ke lokasi. "Tapi kalo harga tiket masuknya segitu tinggi, mana kebeli tiket," kata dia kesal. 


Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah -Foto: Screenshoot web cagarbudaya kemdikbud.go.id-

Hal senada juga disampaikan Arum (23). ASN di sebuah instansi pemerintah ini, kaget dengan tingginya kenaikan harga tiket masuk ke Candi Borobudur. "Iya kalo tiket untuk pelajar memang murah. Hanya Rp 5 ribu. Tapi, anak usia sekolah yang ke Borobudur bersama keluarga dan bukan rombongan sekolah, harga tiketnya tetap tinggi. 

 

SEJARAH CANDI BOROBUDUR

 

Dari data yang dikutip INFORADAR.ID dari website cagarbudaya.kemdikbud.go.id, berdasarkan data yang tersedia, diduga bahwa Candi Borobudur didirikan secara bertahap oleh tenaga kerja sukarela yang bergotong royong demi kebaktian ajaran agama pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra antara tahun 750 – 842 M. Candi ini merupakan bukti sejarah perkembangan agama Buddha di Indonesia. Dalam perspektif ini, Candi Borobudur dilihat sebagai bukti puncak perkembangan agama Buddha di wilayah ini. Hal ini dapat dilihat dari pahatan relief, susunan patung maupun figur-figur Buddha yang diarcakan. Semuanya menunjukkan agama Buddha telah mencapai tarafnya yang kompleks sebagai wahana besar (mahayana) yang dianut oleh banyak anggota masyarakat. Sementara, ada beberapa ahli lain yang mencoba menafsirkan adanya unsur-unsur aliran yang bersifat tantrisma.

Tafsiran lain menyebutkan bahwa Candi Borobudur bukanlah semata-mata berlatar agama Buddha, tetapi telah dipengaruhi pula oleh konsep pemujaan leluhur yang diwujudkan dalam bentuk bangunan berteras sebagaimana bangunan pemujaan leluhur dari Jaman Prasejarah. Dengan demikian, Borobudur dilihat sebagai bukti paduan antara religi murba dan Budhisma. Berbagai persepsi “sejarah” itu telah mencetuskan keragaman fungsi Borobudur, mulai dari fungsinya sebagai monumen untuk memuliakan leluhur para pendiri kerajaan Syailendra, sebagai gambaran gunung kosmis, sebagai mandala, sebagai tuntutan mencapai ke-budha-an (dasa bodhisatwabhumi), dan sebagai stupa besar (Tanudirjo, 2007).

Hingga saat ini belum diketahui pasti alasan mengapa candi-candi di satuan ruang geografis Borobudur ditinggalkan. Dugaan sementara yang dikemukakan sejumlah ahli, penyebab candi-candi itu ditinggalkan adalah bencana meletusnya Gunung Merapi tahun 1006. Namun, hasil penelitian geologi, vulkanologi, dan arkeologi belum dapat membuktikan terjadi-nya letusan hebat tersebut. Apalagi, ada pecahan keramik dan matauang hasil penelitian di Borobudur menunjukkan berasal dari abad XV M (Miksic, 1990). Lagipula, Nagarakrtagama yang ditulis oleh Kawi Prapanca pada abad ke-14 juga masih menyebutkan tempat bernama ‘Budur’ sebagai salah satu tempat agama Budha Bajradara yang telah berprasasti (lihat Muljana, 2006). Dengan demikian, mungkin candi ini sebenar-nya masih digunakan hingga abad XV, walaupun sudah tidak banyak pendukungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: