INFORADAR.ID- Pulau Sangiang, salah satu pulau kecil yang berada di Selat Sunda, menawarkan panorama laut biru dan keindahan alam yang meninggalkan kesan tak terlupakan.
Pulau sangiang diapit oleh 2 pulau besar yaitu Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, letaknya yang strategis membuat pulau ini menjadi destinasi menarik bagi para pencinta alam dan wisata bahari.
Pasir putih yang berpadu dengan birunya laut hijau tosca menghadirkan gradasi warna yang menyejukkan mata.
Ditambah lagi, keberadaan terumbu karang dan ikan-ikan tropis menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta snorkeling untuk menjelajahi pesona bawah lautnya.
BACA JUGA:Prabowo Tak Masalahkan Bendera One Piece, Tapi Ini yang Perlu Diwaspadai
BACA JUGA:Jelang Hari Kemerdekaan RI, Penjual Bambu di Lebak Kebanjiran Pesanan
Selain wisata lautnya, Pulau Sangiang juga menawarkan beragam destinasi menarik lainnya, seperti Bukit Begal yang kerap dijuluki “Nusa Penida-nya Banten”.
Serta Goa Kelelawar yang menjadi rumah bagi ribuan kelelawar dan ikan hiu yang berenang dibawahnya, serta Puncak Harapan.
Namun, di balik indahan itu, tersimpan kisah panjang yang tak seindah pemandangannya. Selama bertahun-tahun, Pulau Sangiang menghadapi konflik yang membuat warganya hidup dalam ketidakpastian.
Fakta yang Tidak Terlihat
Kisah ini bermula ketika sebuah perusahaan yang ingin menempati pulau tersebut, pulau yang telah wariskan oleh nenek moyang mereka dan ditempati secara turun-temurun oleh masyarakat pulau sangiang.
BACA JUGA:Anggaran Seremonial Dipangkas, Gubernur Banten Fokus pada Pembangunan Pendidikan dan Infrastruktur
BACA JUGA:Instruksi Presiden Ditindaklanjuti, Pemkot Cilegon Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis di MAN 2
Warga menolak pengambilalihan itu, dan hanya mengizinkan perusahaan berdampingan tanpa merampas hak tanah mereka.
Lalu tak lama dari itu, terdapat kiriman hama yang mengganggu mata pencarian utama warga pulau sangiang yaitu berkebun. Hama tersebut diantaranya ada babi hutan dan ular.