Disway Award

Konten Instagram Bahas Luka Batin Anak Berbakat, Netizen Ramai-Ramai Bilang “Relate”

Konten Instagram Bahas Luka Batin Anak Berbakat, Netizen Ramai-Ramai Bilang “Relate”

Foto chella-Instagram @chellais-

INFORADAR.ID – Sebuah unggahan Instagram milik certified hypnotherapist Cella (@cellaish) tengah menarik perhatian publik setelah membahas fenomena “anak berbakat yang tumbuh dewasa dengan luka batin”. Unggahan berbentuk slide itu viral karena dinilai sangat menggambarkan tekanan psikologis yang selama ini dialami banyak anak muda yang tumbuh dengan label “pintar”, “hebat”, atau “spesial”.

Dalam kontennya, Cella mengangkat pemikiran dari buku The Drama of the Gifted Child karya Alice Miller, sebuah karya psikologi yang membahas bagaimana anak-anak berbakat sering menjadi korban ekspektasi lingkungan sejak usia dini. Mereka tumbuh di bawah tekanan untuk selalu berprestasi dan tampil sempurna, namun justru kekurangan dukungan emosional dari orang-orang di sekitarnya.

“Anak-anak ini tumbuh dengan luka batin sampai dewasa. Ada harga yang harus dibayar,” tulis Cella dalam salah satu slide yang membuat para pengguna Instagram merasa tertegun.

Cella menjelaskan bahwa banyak anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata sejak kecil tidak pernah diberikan ruang untuk gagal, salah, atau menunjukkan kelemahannya. Alhasil, ketika dewasa mereka membawa perasaan kosong, kehilangan arah, hingga shame  perasaan malu yang begitu dalam dan sulit dijelaskan.

BACA JUGA:Bukan Sekadar Tren, Remaja 17 Tahun Ini Jadi Penjaga Masa Depan Pangan Indonesia

BACA JUGA:Andrew Kalaweit, Anak Tarzan yang Menjaga Kalimantan dengan Kamera

Dalam slide berikutnya, Cella menguraikan sejumlah dampak psikologis yang kerap muncul. Ketakutan berlebihan terhadap kegagalan menjadi salah satu yang paling umum. Anak berbakat terbiasa memenuhi ekspektasi tinggi dan mendapatkan identitasnya dari pencapaian. Ketika dewasa, kegagalan kecil pun dapat terasa seperti ancaman besar bagi harga diri mereka.

Masalah lain yang sering dialami adalah menurunnya self-esteem ketika memasuki lingkungan baru seperti dunia perkuliahan atau pekerjaan. “Mereka yang dulu dianggap paling pintar tiba-tiba merasa tidak ada apa-apanya ketika bertemu orang-orang yang lebih hebat,” jelas Cella dalam unggahan tersebut. Fenomena ini memicu kecemasan, rasa tidak mampu, serta krisis eksistensial yang membuat banyak orang merasa kehilangan dirinya sendiri.

Kesulitan meminta bantuan juga menjadi bagian penting dalam pembahasan unggahan tersebut. Banyak anak berbakat tumbuh dengan pola pikir harus bisa menyelesaikan segalanya sendiri. Ketika dewasa, kalimat sederhana seperti “aku butuh bantuan” justru menjadi salah satu hal tersulit untuk diucapkan, meski mereka sadar sedang berada di titik buntu.

Tak butuh waktu lama bagi unggahan tersebut untuk dibanjiri komentar. Banyak warganet yang mengaku merasa begitu relate dengan isi slide tersebut. Sebagian menyebut konten itu seperti “cermin” yang menggambarkan luka lama yang selama ini tidak mereka sadari.

BACA JUGA:7 Lagu Viral TikTok 2025 yang Wajib Kamu Dengar!

BACA JUGA:Heboh! Gen Z Indonesia Mulai Tinggalkan Cita-cita Menjadi Influencer, Profesi Clipper Mendadak Viral

“Baru sadar ternyata rasa takut gagal aku dari kecil,” tulis salah satu pengguna Instagram. Ada pula yang mengatakan bahwa konten tersebut membantu mereka memahami perjalanan emosional yang selama ini terus terbawa hingga dewasa.

Unggahan itu juga ramai dibagikan ulang sebagai bentuk refleksi, terutama oleh mahasiswa dan pekerja muda yang merasa bahwa cerita mereka selama ini kurang dipahami oleh lingkungan.

Konten edukatif ini dinilai penting karena memberikan perspektif baru mengenai sisi lain dari anak-anak berbakat. Label “pintar” atau “hebat” kerap dianggap sebagai simbol keberuntungan, padahal ada tekanan emosional besar yang perlu diperhatikan. Cella menekankan bahwa anak berbakat juga membutuhkan dukungan emosional, validasi, dan ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa harus selalu tampil sempurna.

Unggahan ini sekaligus menjadi refleksi bahwa kesehatan mental tidak hanya dipengaruhi masa dewasa, tetapi juga dibentuk oleh pengalaman masa kecil yang kerap tak terlihat.
Dengan viralnya konten ini, banyak pengguna berharap makin banyak edukasi serupa agar masyarakat semakin peka terhadap kebutuhan emosional anak, terutama mereka yang tumbuh dalam bayang-bayang ekspektasi tinggi.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: