Disway Award

Musim Hujan, Bencana, dan Krisis Kehidupan: Ketika Alam dan Kebijakan Mengekang Orang Miskin

Musim Hujan, Bencana, dan Krisis Kehidupan: Ketika Alam dan Kebijakan Mengekang Orang Miskin

Ma’zumi/Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa --

Oleh Ma’zumi, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Indonesia, negeri tropis yang dahulu dirayakan sebagai anugerah dua musim, kini menatap kenyataan yang muram: hujan ekstrem, banjir, dan longsor yang berulang menjadi berita harian, sekaligus krisis hidup bagi mereka yang miskin dan lemah.

Dalam kerapuhan ekoteologis, alam seakan mengirimkan isyarat bahwa keseimbangan ciptaan telah terusik oleh kerakusan manusia. Deforestasi, emisi yang menebalkan langit, dan aktivitas ekstraktif yang membongkar bumi tanpa jeda menjadikan siklus bencana kian brutal.

Mereka yang paling rentan justru paling terluka, menjadikan problem ekologis ini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan nestapa bersama bagi seluruh penghuni dunia.

Tidak ada makhluk lain yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap dunia ini, kecuali manusia. Tugas dan tanggung jawab terhadap dunia ini adalah bagian dari kewajiban teologis. Kerusakan lingkungan hidup dan terjadinya krisis iklim menunjukka krisis teologis.

Perubahan Iklim, Intensifikasi Musim Hujan dan Risiko Bencana

Musim hujan yang dulu dipandang sebagai rahmat Tuhan, dan penanda kesuburan kini berubah menjadi lanskap penuh kegelisahan. Perubahan iklim dan variabilitas cuaca membuat ritme alam bergeser dari harmoni ke ketidakteraturan.

Penelitian Universitas Andalas menunjukkan bahwa peningkatan curah hujan secara signifikan memperbesar risiko banjir (Prayoga & Fadjar, 2021). Di wilayah rentan seperti Kuningan Regency, curah hujan yang meningkat berkorelasi dengan frekuensi banjir dan longsor (Firdausiah’adah et al., 2023).

Hujan yang kian sering dan ekstrem menjadikan musim hujan bukan sekadar siklus, melainkan ancaman yang menuntut kewaspadaan kolektif, sebab keselamatan, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat berada di ambang rapuh.

Risiko alam yang meningkat tak terpisahkan dari jejak tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Deforestasi, perambahan lahan, pertambangan yang berjalan tanpa kendali, dan industrialisasi yang tak bijak telah mengoyak tubuh bumi, menghilangnya fungsi hutan sebagai penjaga curah hujan, sehingga menyebabkan efek rumah kaca, krisis iklim, cuaca ekstrim, permukaan air laut meningkat, memicu banjir, kekeringan, serta longsor.

Ketika alam diperlakukan sebagai objek yang dapat dijarah tanpa batas, maka tanah dan hutan kehilangan fungsi ekologisnya, yaitu penyerap air, penahan erosi, dan penyangga kehidupan, hingga bencana menjadi konsekuensi yang nyaris tak terhindarkan (Alhadi et al., 2024).

Luka Terbaru Nusantara: Banjir-Longsor di Sumatera dan Aceh

Akhir November 2025 menorehkan duka mendalam. Deras hujan monsun, dipicu perubahan iklim dan dipersulit oleh kondisi ekologi yang rapuh, menenggelamkan kampung, merusak bukit, dan membelah harapan serta memperpuruk nasib si miskin di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Ribuan jiwa mengungsi, puluhan ribu rumah rusak, tanah dan sungai bersatu dalam amarah alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa korban tewas akibat banjir dan longsor di ketiga provinsi telah mencapai ratusan jiwa, dengan jumlah korban hilang yang masih banyak, sedangkan infrastruktur, jembatan, jalan dan rumah penduduk hancur berantakan (Admin INP, 2025)

Fenomena itu menegaskan, ketika alam dirampas tak hormat, hutan dipangkas, sungai dikeruk, lereng dibuka tanpa belas kasih, maka alam bisa menjadi cermin murka, membalaskan degupnya lewat air dan longsor, menimpa yang lemah dan tak bersalah.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: