1. Bagi yang dipanggil
Wahai pak haji dan bu haji, jangan jadikan gelar haji kalian sebagai alat untuk memandang sebelah mata orang yang belum haji, atau alasan bagi kalian untuk tidak respek (bahkan tidak mau noleh kepada rang yang memanggil nama kalian tanpa embel-embel haji.
Haji mabrur memang harus lillah, jadikan gelar haji kalian sebagai rem dan filter manakala kalian mau melakukan hal-hal yang tidak pantas secara hokum agama atau sosial.
Jangan sampai masuk kepada golongan yang diulti oleh Rasulullah SAW:
“Akan datang suatu masa, dimana orang kayanya berhaji karena rekreasi (healing), orang menengahnya karena tujuan bisnis, ulamanya karena ingin pamer dan dipuji, serta orang miskinnya untuk meminta-minta”.
BACA JUGA:Viral 4 Siswa Buat Video Candaan Makan Daging, Darah Anak Palestina, Pihak Sekolah Buka Suara
BACA JUGA:Heboh PDNS Diretas, Bagaimana Cara untuk Melindungi Data Pribadi? Coba 6 Tips Ini
2. Untuk yang memanggil
Rasulullah SAW mencontohkan dan mengajarkan kepada kita untuk memanggil orang lain dnegan panggilan yang ia sukai. Sayyidina Umar berkata:
“Termasuk hal yang bisa menumbuhkan rasa cinta dan kasih adalah memanggil orang lain dengan panggilan yang paling ia sukai”.
Imam Nawawi menuliskan: “Para ulama sepakat atas kesunnahan menyematkan julukan yang disukai oleh pemiliknya. Seperti Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq yang memiliki julukan ‘Atiq’ dan Sayyidina Ali yang memiliki julukan ‘Abu Turob”.
Kita hidup di masyarakat yang punya tradisi dan budaya panggilan khusus dengan berbagai variannya. Bukan hanya pak haji dan bu haji, tapi kiai, ustadz, habib, syarifah, ning, gus, lora, ajengan, dll.
Maka sudah sewajarnya jika kita gak asal panggil nama saja, apa kira-kira panggilan yang paling ia suka? Itu bagian dari tata karma, adab, respek dan apresiasi kita terhadap orang lain. Wallahu a’lam, semoga bermanfaat. (*)