Sisi Timur
Di sisi timur terdapat prasasti yang berbunyi, “INGKANG MANGAYUBAGYA KARSA DALEM KANJENG TUWAN RESIDHEN Y. MULLEMESTER”.
Prasasti ini menyebutkan bahwa Y. Mullemester, Residen Yogyakarta waktu itu, menyambut baik pembangunan tugu tersebut.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Belanda tidak terlibat dalam pendanaan.
Sisi Selatan
Di sisi selatan terdapat prasasti yang berbunyi, “WIWARA HARJA MANGGALA PRAJA, KAPING VII SAPAR ALIP 1819”.
Wiwara Harja Manggala Praja merupakan sengkalan yang menandai selesainya pembangunan Tugu Golong Gilig yang baru. Wiwara berarti gerbang, mewakili angka sembilan.
Harja bermakna kemakmuran, mewakili angka satu. Manggala bermakna pemimpin, mewakili angka delapan. Sementara Praja bermakna negara, mewakili angka satu.
Dapat diartikan bahwa perjalanan menuju gerbang kemakmuran dimulai dari pemimpin negara. Sengkalan ini menunjuk pada angka 1819, sesuai dengan tahun yang ditulis di bawahnya.
Di atas tulisan tersebut terdapat lambang padi dan kapas dengan tulisan HB VII, juga lambang mahkota Belanda di puncaknya.
Lambang ini adalah lambang resmi yang dipakai oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII.
Sisi Utara
Di sisi utara terdapat prasasti yang berbunyi, “PAKARYANIPUN SINEMBADAN PATIH DALEM KANJENG RADEN ADIPATI DANUREJA INGKANG KAPING V. KAUNDHAGEN DENING TUWAN YPF VAN BRUSSEL. OPSIHTER WATERSTAAT”.
Prasasti ini menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan tugu dipimpin oleh Patih Danurejo V (1879-1899), dan arsitektur tugu dirancang oleh YPF Van Brussel, seorang petugas Dinas Pengairan Belanda yang bertugas di Yogyakarta.
Sejak pembangunan kembali Tugu Jogja setelah gempa bumi tak ada lagi perubahan hanya ada pekerjaan yang bersifat perawatan disekililing Tugu Jogja.(*)