Disway Award

Pertarungan Framing di Ruang Publik

Pertarungan Framing di Ruang Publik

Potret Ahmad Sihabudin--

Oleh: Ahmad Sihabudin, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 

 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ruang publik Indonesia diwarnai oleh berbagai polemik yang terus berulang, hampir tak pernah menemukan titik jeda. 

Salah satu yang paling menonjol adalah fenomena pemberitaan seputar Roy Suryo, tokoh publik yang kerap muncul dalam pusaran kontroversi—beserta kelompok yang konsisten membangun narasi tertentu untuk membentuk opini publik. 

Di tengah derasnya arus informasi yang bergerak masif melalui media sosial dan media arus utama, saya melihat pola komunikasi yang muncul memperlihatkan gejala psywar (psychological warfare) atau perang urat syaraf yang coba dikembangkan, strategi agenda setting, serta praktik propaganda yang berlapis, mungkin artikel ini akan terasa sangat subyektif, bila dibaca oleh pihak kelompok Roy Suryo.

Meskipun status hukum Roy Suryo sudah secara resmi ditetapkan sebagai tersangka, framing yang muncul dari sejumlah pihak dalam lingkaran pendukungnya justru berupaya menempatkannya pada posisi yang berlawanan: bukan sebagai pihak yang sedang menjalani proses hukum, tetapi sebagai figur yang “dipersekusi”, “dikorbankan”, atau bahkan “diserang” oleh kekuatan tertentu. 

Ketegangan antara fakta hukum dan narasi media inilah yang menjadi titik analisis penting dalam artikel ini.

Di titik inilah publik seperti dipaksa masuk dalam arus diskusi yang sebenarnya diciptakan bukan untuk kepentingan bersama, melainkan untuk mempertahankan kepentingan kelompok tertentu.

Psywar (Perang urat Syaraf)

Psywar digunakan biasanya untuk memanipulasi persepsi, dan perang psikologis di ruang publik. Secara akademik, psywar didefinisikan sebagai upaya sistematis untuk memengaruhi kognisi, afeksi, dan perilaku audiens sehingga mereka mengadopsi persepsi tertentu, bahkan jika persepsi itu bertentangan dengan fakta. 

Dalam konteks pemberitaan Roy Suryo, terdapat beberapa pola khas psywar yang dapat diidentifikasi seperti; Reframing status tersangka menjadi simbol korban. 

Penetapan seseorang sebagai tersangka secara hukum menandakan bahwa penyidik telah memiliki bukti permulaan yang cukup. 

Namun narasi pendukung justru mengemasnya sebagai tindakan politis atau penzaliman.

Pergeseran ini bukan sekadar retorika, tetapi strategi psywar untuk memancing empati publik, mengalihkan sorotan dari substansi perkara, memicu keraguan terhadap lembaga penegak hukum, dan menciptakan citra “pihak yang diperangi”.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: