Pertarungan Framing di Ruang Publik
Potret Ahmad Sihabudin--
Menyuntikkan keraguan terhadap legitimasi proses hukum. Keraguan adalah senjata psikologis yang efektif. Dalam banyak diskursus, pihak pendukung berulang kali menekankan bahwa status tersangka “tidak adil”, “mengada-ada”, atau “penuh kepentingan”.
Ketika keraguan ditanamkan terus-menerus, otoritas fakta hukum kehilangan posisi dominannya. Ini merupakan pola klasik psywar: mengikis kepercayaan publik pada institusi negara.
Substitusi fakta dengan narasi emosional, fokus publik diarahkan dari apa yang terjadi menjadi bagaimana perasaan kelompok terhadap apa yang terjadi.
Ini adalah mekanisme psikologis yang mengaburkan proses objektif dan menggantikannya dengan sentimen.
Agenda Setting: Mengarahkan Topik yang Dipikirkan Publik
Saya juga ingin melihat pola komunikasi yang dilakukannya, melalui sudut pandang Teori Agenda setting, teori klasik komunikasi, yang menyatakan bahwa media tidak menentukan isi pikiran publik, tetapi menentukan apa yang dibicarakan oleh publik.
Dalam pemberitaan kasus Roy Suryo, strategi agenda setting tampak melalui dua mekanisme utama, yaitu: Menonjolkan isu pinggiran untuk menenggelamkan fakta utama, alih-alih menyoroti perkembangan penyidikan, sejumlah media atau akun pendukung lebih memilih mengangkat isu sampingan, memperbesar polemik emosional, dan memproduksi sensasi non-substantif.
Seperti prihal kunjungan mereka ke komisi percepatan reformasi Polri, kemudian bernarasi fiktif. Akibatnya, publik lebih banyak membicarakan aspek remeh daripada mempelajari inti perkara.
Mengurangi visibilitas informasi merugikan, salah satu bentuk agenda setting adalah gatekeeping informasi. Ketika perkembangan hukum tidak menguntungkan tokoh, pemberitaannya dibuat minimal, teknis, atau ditempatkan di posisi tidak strategis.
Propaganda: Konsolidasi Narasi Kelompok
Propaganda bekerja bukan hanya melalui penyebaran informasi, tetapi melalui kontruksi realitas sosial. Dalam kasus Roy Suryo, propaganda dapat dibaca melalui beberapa strategi berikut; Produksi narasi musuh bersama, propaganda efektif ketika ia berhasil menciptakan antagonis.
Dalam perdebatan publik, berbagai tokoh, baik lembaga hukum, pengkritik, maupun publik skeptis, dibingkai sebagai pihak yang “memusuhi”.
Repetisi formula retorik, kalimat-kalimat seperti: “ini kriminalisasi,” “ini penuh kepentingan,” “ini tidak adil,” diulang tanpa henti hingga menjadi pseudo-fact.
Penguatan narasi melalui figur sekunder, untuk memberi kesan luas, narasi diperkuat oleh “koalisi opini”: politisi, influencer, akun pseudo-anonim, bahkan komentator media.
Dalam pandangan saya yang mungkin subyektif isu pemberitaan ini hampir tidak ada unsur kepentingan publiknya. Dalam fenomena pemberitaan Roy Suryo, yang tampak adalah dominasi kepentingan kelompok, absennya pembahasan substansi hukum, minimnya edukasi literasi media, dan kaburnya batas antara opini dan fakta.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
