Begini Cara Komunikasi yang Sehat: Biar Hubungan Nggak Cuma Jalan, Tapi Berkembang
Komunikasi-Pinterest/BuzzFeed-
INFORADAR.ID.ID- Setiap jenis hubungan baik itu pertemanan, keluarga, kerja, maupun asmara komunikasi jadi pondasi utama yang menentukan apakah hubungan itu bisa bertahan atau malah runtuh di tengah jalan.
Sayangnya, banyak orang merasa sudah ‘berkomunikasi’, padahal yang terjadi sebenarnya hanya saling berbicara tanpa saling mendengarkan.
Komunikasi yang sehat bukan cuma soal menyampaikan isi pikiran, tapi juga bagaimana cara kita menyampaikan, menerima, dan merespons dengan penuh kesadaran dan empati.
Komunikasi yang sehat itu bukan tentang siapa yang paling banyak bicara atau siapa yang selalu menang dalam argumen.
BACA JUGA:Cara Memilih Buah Naga yang Manis dan Matang, Jangan Sampai Tertipu!
BACA JUGA:Perintis Bisa Kaya Gak Sih? Ini Kata Theo Derick soal Pewaris vs Perintis
Tapi tentang bagaimana dua orang atau lebih bisa saling memahami, menghindari asumsi berlebihan, dan memberi ruang untuk masing-masing merasa didengar.
Contoh sederhananya, saat pasanganmu bilang, “Aku capek,” jangan langsung menyela dengan, “Aku juga!” Tapi dengarkan dulu maksudnya.
Bisa jadi ia sedang butuh didengar, bukan dibandingkan. Dalam komunikasi yang sehat, empati lebih penting dari ego.
Salah satu kunci dari komunikasi yang sehat adalah kemampuan mendengarkan aktif. Mendengarkan aktif bukan berarti diam menunggu giliran bicara, melainkan benar-benar menyimak apa yang disampaikan lawan bicara.
BACA JUGA:Cari Tips Agar Lebih Pintar? Intip Disini, Cuma Melamun Salah Satunya Lho
BACA JUGA:Mengenal Volunteer: Pengertian, Manfaat, Contoh Kegiatan, dan Cara Terlibat
Ini bisa terlihat dari gestur tubuh, kontak mata, hingga bagaimana kita memberi tanggapan.
Dengan mendengarkan secara utuh, kita memberi sinyal bahwa orang tersebut berharga dan layak dihargai. Dari situlah kepercayaan dan kenyamanan dalam hubungan mulai tumbuh.
Selain itu, penting juga untuk memilih waktu dan situasi yang tepat saat ingin membahas hal sensitif.
Menyampaikan kritik saat lawan bicara sedang lelah atau emosional hanya akan memperburuk situasi.
Komunikasi yang sehat tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan harus menunda pembicaraan demi menjaga suasana tetap kondusif.
Bahasa yang digunakan juga menentukan. Hindari kalimat yang menyudutkan seperti, “Kamu tuh selalu…,” atau “Kamu nggak pernah…,” karena akan membuat lawan bicara langsung pasang pertahanan.
Sebaliknya, gunakan kalimat “aku” untuk mengungkapkan perasaan, misalnya, “Aku merasa sedih ketika kamu nggak cerita apa-apa,” daripada menuduh, “Kamu tuh nggak pernah terbuka sama aku.”
Perbedaan kecil dalam diksi bisa membawa dampak besar terhadap hasil komunikasi. Komunikasi yang sehat juga membutuhkan keberanian untuk jujur, tanpa menyakiti.
Terbuka bukan berarti bicara sembarangan tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jujur tetap bisa dilakukan dengan cara yang halus, asalkan niatnya memang untuk memperbaiki hubungan, bukan menyerang atau menyudutkan.
Di sisi lain, komunikasi yang sehat juga butuh batasan. Tidak semua hal harus dibicarakan saat itu juga, dan tidak semua masalah harus diselesaikan dalam satu kali percakapan.
Memberi ruang dan waktu juga termasuk bagian dari komunikasi. Ada kalanya diam bukan berarti menghindar, tapi memberi waktu untuk mencerna dan berpikir jernih sebelum memberi respons.
Pada akhirnya, komunikasi yang sehat bukan sesuatu yang otomatis hadir dalam hubungan.
Ia butuh usaha, kesadaran, dan kemauan untuk terus belajar. Karena dengan komunikasi yang tepat, sebuah hubungan nggak hanya bertahan, tapi bisa tumbuh, berkembang, dan saling menyembuhkan.
Jadi, yuk mulai dari hal kecil: dengarkan tanpa menghakimi, bicara tanpa menyakiti, dan hadir dengan sepenuh hati.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
