Quiet Cracking Mengkhawatirkan, Kenal Istilah Baru Dalam Dunia Kerja
Ilustrasi: Zodiak yang mudah beradaptasi di lingkungan baru-Pinterest/HRzone-
INFORADAR.ID - Quiet cracking kini muncul sebagai istilah baru yang tengah hangat dibahas di lingkungan kerja, dan dinilai sama seriusnya dengan quiet quitting.
Fenomena ini menggambarkan kondisi ketika karyawan tampak menjalankan tugas seperti biasa, namun sebenarnya menyimpan beban dan mulai kehilangan motivasi.
Istilah quiet cracking semakin disorot para ahli karena dinilai mampu menggerogoti produktivitas serta berdampak negatif pada kesehatan mental pekerja.
Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menyebabkan performa menurun tajam sekaligus meningkatkan potensi burnout di lingkungan kerja.
Tidak seperti quiet quitting yang cenderung pasif, quiet cracking menunjukkan adanya beban emosional yang terus menumpuk.
BACA JUGA:Mpok Alpa Meninggal Dunia, Raffi dan Irfan Ungkap Perjuangannya Melawan Kanker
BACA JUGA:BI Tunda Peluncuran Payment ID, Infrastruktur Masih Disiapkan
Memahami Arti Quiet Cracking
Frank Giampietro, Chief Well-being Officer EY Americas, menjelaskan bahwa quiet cracking terjadi saat seseorang hadir dan menyelesaikan tugasnya, namun sebenarnya tengah berjuang melawan rasa tertekan atau ketidakpuasan.
Secara kasat mata, mereka tampak baik-baik saja, tetapi kenyataannya motivasi dan energi mereka perlahan terkikis.
“Banyak orang bertahan bukan karena ingin, melainkan karena tidak ada pilihan pekerjaan yang lebih baik,” ujar Giampietro.
Lesunya pasar kerja, terbatasnya kesempatan karier, serta risiko finansial dari pindah pekerjaan menjadi faktor utama yang membuat mereka terjebak.
Dampak Negatif Quiet Cracking di Dunia Kerja
Kondisi quiet cracking membawa sejumlah risiko yang patut diwaspadai, di antaranya berikut ini.
- Keterlibatan karyawan menurun
- Kepuasan kerja dan moral tim melemah
- Produktivitas berkurang
- Burnout semakin berisiko terjadi
Laporan Gallup mencatat penurunan keterlibatan karyawan global dari 23% menjadi 21% pada 2024.
Angka ini diperkirakan menimbulkan kerugian produktivitas sekitar 438 miliar dolar AS.
Gejalanya pun sering menyerupai burnout, seperti sakit kepala, cepat merasa lelah, hingga sering absen karena alasan kesehatan. Bahkan karyawan berprestasi tinggi bisa tiba-tiba kehilangan konsistensi kerja.
BACA JUGA:6 Tempat Bersejarah di Banten Lama yang Patut Dikunjungi, Kenali Destinasi Ini Lebih Dekat
BACA JUGA:Timothy Ronald Resmikan Sekolah ke-4 di Kupang Bersama Agatha Chelsea
Peran Penting Pemimpin dalam Mengatasi Quiet Cracking
Giampietro menekankan pentingnya sensitivitas pemimpin dalam mengenali tanda-tanda perubahan perilaku tim.
Alih-alih langsung menilai sebagai masalah kinerja, pemimpin disarankan untuk mengajak bicara secara personal. Sebuah pertanyaan sederhana seperti:
"Saya perhatikan ada perubahan, bolehkah kita berbicara? Saya ingin memastikan kamu baik-baik saja"
bisa menjadi langkah awal yang efektif.
Sayangnya, kepedulian perusahaan terhadap kesehatan mental yang sempat meningkat saat pandemi, kini mulai menurun.
Fokus pada penghematan biaya membuat dukungan untuk karyawan berkurang justru saat mereka paling membutuhkan.
Quiet cracking menjadi pengingat bahwa kesehatan mental karyawan perlu mendapat perhatian serius.
Menciptakan lingkungan kerja yang positif, menjaga komunikasi yang terbuka, serta memberikan dukungan nyata menjadi langkah penting untuk mencegahnya.
Jika fenomena ini tidak segera ditangani, dampaknya akan merugikan baik individu maupun perusahaan dalam jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
