Iduladha: Kurban dan Spirit Melahirkan Kesalehan Sosial

Iduladha: Kurban dan Spirit Melahirkan Kesalehan Sosial

Penyembelihan hewan kurban.-Radar Banten -

Oleh : Zainul Arifin, M.Pd

SETIAP tanggal 10 Dzulhijjah (Iduladha) dan tiga hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijah), umat Islam disunahkan menyembelih hewan kurban, khususnya bagi yang memiliki kemudahan dan kelapangan rezeki.

Sedemikian utamanya ibadah ini, Nabi SAW pernah memberikan peringatan serius: “Siapa saja yang memiliki kelapangan rezeki, tetapi tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjid kami.” (HR at-Thabrani).

Dalam setiap agama, ibadah memiliki dimensi ganda: vertikal dan horizontal. Salat dan puasa misalnya bukan sekadar pendekatan diri kepada Allah SWT, tetapi juga merupakan pendekatan diri dengan sesama, bahkan dengan alam semesta. Beribadah juga tidak sekadar untuk menggugurkan kewajiban, berhenti pada tataran legal formal, atau memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi juga harus membuahkan kesalehan sosial, akhlak mulia, integritas moral dan menjadi generasi terbaik.

Iduladha merupakan manifestasi integrasi ibadah vertikal dan horizontal. Ritualitas salat dengan menghadap kiblat merupakan ibadah vertikal, sedangkan pelaksanaannya secara berjamaah, penyembelihan hewan kurban, dan pembagian dagingnya kepada yang berhak merupakan ibadah sosial horizontal. Kedua dimensi ibadah ini harus bermuara kepada ketakwaan sosial, keteladanan moral, dan kedermawanan sosial.

Iduladha selalu saja menjadi rekonstruksi sejarah masa lampau. Sejarah kehidupan figur-figur agung para kekasih Allah Subhanahu Wa Taala, yaitu figur Nabiyullah Ibrahim 'Alaihis Salam, figur sang anak hebat Nabi Ismail, dan figur sang ibu luar biasa, Siti Hajar. Prosesi yang mengharu biru sejarah umat manusia adalah penyembelihan Nabiyullah Ibrahim AS pada putra tercintanya Nabi Ismail yang akhirnya diganti kambing oleh Allah.    

Selain sebagai bentuk kepatuhan pada titah Allah SWT, ibadah kurban adalah merupakan bentuk solidaritas atas sesama yang tercecer dari mobilitas sosial. Untuk mereka, yakni orang-orang fakir dan miskin. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian yang lesu di negara Indonesia imbas Covid-19, juga nilai tukar rupiah yang anjlok di kisaran Rp 15.000,- dan menyebabkan makin sulitnya kehidupan saudara-saudara kita, adalah kewajiban untuk membantu. 

Nabi SAW sangat mengecam keras orang yang enggan berkurban, karena dalam Islam ibadah kurban bukan hanya ritus persembahan untuk meningkatkan spritualitas seseorang atau juga bukan tontonan kesalihan orang kaya semata.

Namun, lebih dari itu, kurban adalah dalam rangka memperkuat kepekaan sosial, meningkatkan kesalehan sosial, menyantuni fakir miskin dan membuat gembira orang sengsara. Kurban mencerminkan pesan Islam bahwa seseorang hanya dapat taqarrub pada Allah, bila ia sebelumnya telah dekat dengan saudara-saudaranya yang kekurangan.   

Islam seperti diperlihatkan Nabi Ibrahim mentrandensikan jalan menuju Tuhan sebagai jalan kebahagiaan dan jalan menuju akhirat. Islam memberikan dimensi moral spritual agar aktivitas manusia memiliki tujuan yang lebih bermakna, bukan hanya sekadar mobilitas fisik tanpa tujuan yang bersifat ilahi. 

Pertanyaan Allah pada Nabi Ibrahim adalah pertanyaan moral yang penuh makna: Hendak dibawa ke mana harta kita? Hendak dibawa mobil kita? Hendak dibawa ke mana jabatan kita? Hendak dibawa ke mana pangkat kita? Hendak dibawa ke mana ilmu kita? Hendak dibawa ke mana tubuh kita?   

Di tengah hiruk pikuk manusia dengan berbagai aktivitasnya, maka menjadi penting untuk menanyakan kembali pertanyaan Ibrahim AS. Karena bisa jadi, yang primer bagi manusia secara faktual dewasa ini adalah avoiding the pain, menghindari apa pun yang menyakitkan. Lalu juga looking for the pleasure, mengejar apa pun yang dirasakan menyenangkan. Sehingga yang muncul hanyalah kehidupan materi duniawi belaka.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof Komarudin Hidayat, bahwa salah satu dimensi dan misi manusia sebagai moral being adalah menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupannya di manapun berada. Moral being ini harus diwujudkan dalam ruang-ruang kantor, di rumah, di masjid, di restoran, di warung kopi dan sebagainya.

Tujuan hidup kita, lagi-lagi seperti teladan Nabi Ibrahim, adalah harus tertuju pada Allah. Tuhan semesta alam.

 Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin. Sesungguhnya shalatku, matiku, hidupku adalah untuk Allah. Setiap salat, kita sudah seringkali mengikrarkan dalam lisan kita.   

Pelajaran berharga lainnya yang kita bisa teladani dari Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam adalah bahwa tujuan tertinggi manusia adalah seperti do’a Nabi Ibrahim. Rabbi hab li minasshalihin. Ya Allah berilah kami anak-anak yang salih. Nabi Ibrahim meminta anak yang salih. Bukan anak yang pintar, bukan anak yang kaya raya. Bukan anak yang punya jabatan luar biasa. Bukan anak yang punya pangkat setinggi langit. Karena apalah arti anak kaya, anak berpangkat dan jabatan, anak yang pintar tapi mereka tidak salih. Karena itu, kata kuncinya adalah anak salih.

Untuk mewujudkan anak yang salih, tentu bukan hal yang mudah. Pertama: keluarga adalah hal utama dan pertama dalam mewujudkan anak salih. Jangan remehkan peran keluarga. Anak yang salih dan salihah, pasti tidak luput dalam pendidikan keluarga sejak dini seperti dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar.

Keduanya berjibaku membentuk karakter Ismail sedemikian rupa. Mereka mengajarkan pendidikan agama pada Ismail sejak dini. Ini sama dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam mendidik anak-anak muslim: Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: Mencintai Nabimu, mencintai ahlu baitnya dan membaca Al-Qur’an. (HR. Tabrani).     
Dan sahabat Ali pernah berkata: 

 ْعَلِّمُوْا اَوْلَادَكُمْ فَاِنَّهُمْ مَخْلُوْقُوْنَ فِي زَمَانِ غَيْرِ زَمَانِكُم

Artinya: Didiklah anak-anakmu karena mereka hidup di zaman yang tidak sama dengan zamanmu.   

 
Kedua, memberi keteladanan (uswah) pada anak-anak kita. Bagaimana pun, keteladanan merupakan dakwah yang sangat manjur dalam mengarahkan anak. Dengan keteladanan yang ditampakkan sehari-hari, maka yang demikian ini akan mempengaruhi anak-anak. Keluarga yang mempertontonkan kejujuran dan kedermawanan akan berpengaruh bagi anaknya. Sebaliknya, keluarga yang mempertontonkan kedustaan dan kebakhilan juga akan anaknya meniru.

Karena itu, Abdullah Nasih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad, mengutip syair Abul Aswad Adduwali yang melontarkan kecaman bagi pengajar atau orang tua yang tindak tanduknya bertentangan dengan ucapannya: 


يا أَيُّها الرَجُلُ المُعَلِّمُ غَيرَهُ # هَلَّا لِنَفسِكَ كانَ ذا التَعليمُ
تَصِفُ الدَّواءَ لِذي السَّقامِ وَذي الضَّنا # كَيْمَا يَصِحُّ بِهِ وَأَنتَ سَقيمُ
وَتَراكَ تُصْلِحُ بالرَّشادِ عُقولَنا # أَبَداً وَأَنتَ مِن الرَّشادِ عَدِيْمُ
فَابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَانْهَهَا عَن غَيِّهَا # فَإِذَا اِنتَهَتْ عَنهُ فَأنْتَ حَكيمُ
فَهُناكَ يُقبَلُ مَا تَقولُ وَيَهتَدِي # بِالقَولِ مِنْك وَيَنْفَعُ التَّعْلِيْمُ

Artinya:

Wahai orang yang mengajar orang lain

Kenapa engkau tidak juga menyadari dirimu sendiri.

Engkau terangkan bermacam obat bagi segala penyakit agar semua yang sakit sembuh.

Sedang engkau sendiri ditimpa sakit.

Obatilah dirimu dahulu. Lalu cegahlah agar tidak menular pada orang lain.

Dengan demikian, engkau adalah seorang yang bijak.

Apa yang engkau nasihatkan akan mereka terima dan ikuti,

ilmu yang engkau ajarkan akan bermanfaat bagi mereka.       

Ketiga, kumpulkan anak-anak kita dengan teman-teman yang baik atau teman yang salih atau salihah. Memiliki sahabat orang-orang shalih atau shalihah merupakan suatu kenikmatan dan karunia dari Allah yang sangat besar.

Dalam Kitab Qutul Qulub Fii Muamalatil Mahbub, Khalifah Umar bin Khattab berkata, “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka peganglah erat-erat.” 

Sebagai makhluk sosial, tentu tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain. Akhlak dan perilaku yang dimiliki seseorang sangat dipengaruh oleh akhlak dan perilaku lingkungan sekitarnya. Dalam Islam, agama yang kita imani sebagai nafas kehidupan seorang muslim, memberikan panduan untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih agar akhlak dan perilaku orang-orang tersebut dapat mempengaruhi kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan bersama orang-orang shalih, kita akan senantiasa termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik.

Begitu juga ketika dalam keadaan lemah atau ingin berbuat sesuatu yang buruk, maka setidaknya ada pengingat yang selalu mengembalikan diri ke jalan yang benar. Rasulullah bersabda:

“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Penulis adalah Kepala Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar Kepuh, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: