Disway Award

Moralitas Terbalik: Cermin Retak Dunia Pendidikan Kita

Moralitas Terbalik: Cermin Retak Dunia Pendidikan Kita

Potret Ahmad Sihabudin--

Oleh: Ahmad Sihabudin, Dosen Komunikasi Lintas Budaya FISIP Untirta-Banten

 

Minggu ini terjadi dua peristiwa sosial yang menarik perhatian publik hampir bersamaan pada 13 Oktober 2025. Pertama, dalam acara “Xpose Uncensored” di Trans7 edisi Senin, 13 Oktober, yang telah saya ulas di media cetak. 

Kedua, kasus yang ramai di kalangan warganet: perselisihan antara Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga dan seorang siswanya yang kedapatan merokok di sekolah.

Peristiwa ini memicu perang opini di media sosial. Puluhan meme bermunculan—ada yang menyindir siswa, ada pula yang membela kepala sekolah. Sebagian besar warganet justru mendukung tindakan kepala sekolah. Namun di sisi lain, para siswa melakukan aksi mogok belajar. 

Seluruh siswa memilih tidak masuk sekolah, konon untuk membela temannya yang disebut “dianiaya” saat ditegur karena merokok. Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar: siapa yang memprovokasi aksi mogok belajar tersebut?

Seharusnya aparat terkait, baik dari Dinas Pendidikan Provinsi Banten maupun pihak berwenang lainnya, menyelidiki provokator di balik aksi ini. Aneh rasanya satu sekolah mogok belajar hanya karena menolak teguran terhadap perilaku yang jelas-jelas melanggar aturan. 

Menurut  kabar kepala sekolah tersebut dinonaktifkan sementara agar siswa mau kembali belajar, setelah bermusyawarah Dinas Pendidikan Pemrov Banten dengan berbagai pihak. Kini ia dikabarkan sudah aktif Kembali sebagai kepala sekolah—semoga saja  benar adanya.

Ironis memang?! Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, dinonaktifkan bukan karena penyalahgunaan wewenang, tetapi karena menegakkan disiplin: menegur dan menindak siswa yang merokok di sekolah. 

Keputusan dari Dinas Pendidikan Provinsi Banten ini membuat publik terheran-heran. Tindakan yang seharusnya menjadi teladan justru berujung pada sanksi.

Kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dunia pendidikan kita? Bukankah sekolah adalah tempat menanamkan nilai kebenaran, tanggung jawab, dan disiplin? Mengapa justru pihak yang berusaha menjaga nilai-nilai itu harus tersingkir?

Dalam logika pendidikan, kepala sekolah bukan sekadar pemimpin administratif, tetapi penjaga nilai dan karakter lembaga yang ia pimpin. Ia bertugas memastikan bahwa sekolah tidak hanya mencetak siswa berprestasi akademik, tetapi juga berakhlak dan berdisiplin. Maka, ketika ada siswa melanggar aturan—apalagi merokok di sekolah—sudah menjadi kewajiban moral dan profesional kepala sekolah untuk menindak.

Namun keputusan menonaktifkan kepala sekolah tersebut justru membalikkan logika itu. Ia bukan dihargai karena keberanian moralnya, tetapi dihukum karena ketegasannya. Inilah yang disebut banyak orang sebagai krisis nilai—ketika yang benar dianggap salah, dan yang salah justru dibiarkan.

Kasus ini juga memperlihatkan lemahnya perlindungan bagi para pendidik. Jika guru dan kepala sekolah tidak lagi merasa aman dalam menegakkan aturan, wibawa pendidikan akan runtuh. Sekolah bisa berubah menjadi tempat kompromi, di mana disiplin dikorbankan demi kenyamanan semu.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: