Disway Award

Modal Sosial Joko Widodo ala Konsep Pierre Bourdieu

Modal Sosial Joko Widodo ala Konsep Pierre Bourdieu

Potret Ahmad Sihabudin--

Kedua memiliki “Jaringan yang saling menguntungkan” dengan gaya kepemimpinan yang lowprofile merendah Jokowi seakan selalu hadir mendengarkan aspirasi rakyat, jaringannya tidak pernah merasa ditinggalkan, seakan beliau selalu hadir motivasi dan semangatnya ditengah Masyarakat.

Ketiga modal sosial yang dimiliki beliau mampu “berinteraksi dengan jenis modal lain”, sehingga dapat mendapatkan keuntungan secara kultural, simbolik, dan ekonomi. modal sosial keempat yang dimilikinya adalah “dapat diwariskan” beliau aplikasikan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kemarin beliau mendukung pasangan Prabowo-Gibran (putranya), walhasil menang dalam satukali putaran. 


Presiden Joko Widodo. Foto: BPMI/Setpres -----

Prabowo adalah rival politik yang paling sengit saat Pilpres dua periode yang lalu, dua kali kalah dalam Pilpres yang mengalahkannya adalah Jokowi, hari ini modal sosialnya diwariskan pada Prabowo-Gibran, secara sosiologi dapat menciptakan ketidak setaraan sosial. 

Akibat politiknya, sampai hari ini Jokowi selalu “diserang” oleh lawan politiknya, secara membabi buta, yang mengarah pada pembunuhan karakter secara komprehensip keluarganya anak, mantu dan isterinya tidak luput dari serangan, ibarat sebuah pertempuran rival politiknya menggunakan serangan “laut, darat, dan udara”.

Inilah  posisi tersulit seorang Presiden VII, ketika memasuki fase rehat politik untuk istirahat menikmati purna tugas, karena begitu besar modal sosialnya, selalu menjadi incaran para lawan politiknya, dengan membunuh karakter, memfitnah, menistakannya dengan keji, ini sangat disayangkan kepada kelompok penyinyir yang sangat tidak beradab cara dan memperlakukan Presiden VII ini. Harga dirinya sudah direndahkan serendah-rendahnya.

Mengapa “watak buas dan kejam” masih terus melekat pada para politisi atau oposan kita? Di Surat At-Tin ayat 5, dalam Al Qur’an ada istilah asfalas safilin, kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (Neraka).  Lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu akibat apa yang telah dilakukannya. Seperti para penyinyir yang menistakan Presiden VII. 

Karenanya, kita harus selalu waspada, berjihad melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai zaman edan.

Kemampuan mengelola modal sosial yang dimilikinya beliau tetap tenang dan sabar, menghadapi berbagai serangan tersebut. Beliau seperti sudah menguasai “ilmu air”, air selalu mengalir kebawah, tidak ke atas, bahkan sampai ke tempat paling rendah yang tidak di sukai orang. Sepintar apapun manusia sebaiknya merendah didepan orang, seperti air. 

Dalam buku The Wisdom of Lao Zi, ada Pepatah mengatakan “manusia ingin menanjak ke tempat yang tinggi, air mengalir ke tempat yang rendah”. Sekalipun vital bagi kelangsungan hidup, air tetap rendah hati. Dia tidak pernah membusungkan dada, dan tidak ingin bersaing dengan siapapun, yang dimaksud merendah adalah “tanpa aku”. 

Belajaralah menjadi seperti air yang bisa dipercaya kebaikannya. Air secara konsisten memberi kehidupan kepada semua yang membutuhkannya. Tanpa bicara, air bisa dipercaya ketepatan waktunya: kapan air laut pasang dan surut, kapan turun hujan, dan salju, serta kapan mau menyirami permukaan bumi. 

Begitu pula seharusnya ucapan kita. Lihat betapa tenang air di telaga sunyi dan samudra dalam. Air yang tenang juga bersikap rendah hati, tidak punya hasrat untuk bersaing dengan siapapun. Semoga kita dapat selalu rendah hati seperti dalam berjalan dimuka bumi.#AS15725#.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: