Disway Award

Bencana Alam Bukan Karena Alam, Reformasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Negara Sebagai Tanggung Jawab Ekologis

Bencana Alam Bukan Karena Alam, Reformasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Negara Sebagai Tanggung Jawab Ekologis

Tanggapan Pandi Ahmad-Pandi for Inforadar-

Pertama mari kita telaah pada aspek struktur penguasaan sumber daya alam dan distribusi monopoli ekonomi. Di banyak wilayah di Indonesia, tanah dipatoki, laut dipagari, hutan, serta tambang dan lahan strategis dikuasai sekelompok korporasi dan elit. Pemberian izin tambang, reklamasi, pembangunan infrastruktur, dan Perkebunan, acap kali di pengaruhi pada keuntungan materi semata, tanpa memikirkan dampak lingkungan dan kemaslahatan masyarakat.

Data deforestasi yang diungkap Greenpeace Indonesia untuk perkebunan dan industri, ada data historis bahwa di bawah moratorium hutan primer & lahan gambut, lebih dari 1,2 juta hektare hutan hilang, akibat kebakaran dan alih fungsi lahan, antara 2011–2018.

BACA JUGA:Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Polres Pandeglang Kerahkan Ratusan Personel Gabungan

BACA JUGA:Cilegon Siaga! 450 Personel Gabungan Pemkot dan Polres Hadapi Bencana Hidrometeorologi

Mega proyek yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek acap meninggalkan dampak buruk bagi lingkungan, mengakibatkan tanah kehilangan daya cengkramnya, erosi, pencemaran dan kerusakan hutan.

Yang pada akhirnya Masyarakat kecil yang menerima dampak negatif yang disebabkan eksploitasi alam. Dilain sisi, korporasi atau elite ekonomi biasanya tidak terdampak kerugian langsung dari kerusakan tersebut, karena biaya dampak lingkungan dianggap “biaya tambahan” yang tidak memengaruhi keuntungan mereka. 

Lemahnya Penegakan Hukum

Indonesia memiliki aturan hukum untuk menjaga lingkungan, termasuk Undang Undang Lingkungan Hidup dan regulasi kehutanan. Sayangnya, penerapan aturan ini kerap lemah, izin usaha sering dikeluarkan di kawasan yang rawan bencana, pengawasan minim, dan hukuman bagi pelanggaran lingkungan jarang dijalankan secara tegas.

Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Sepanjang periode November 2024 hingga September 2025, KLH/BPLH menangani 924 kasus pelanggaran lingkungan, dengan 47 kasus masuk tahap pidana.

Selain itu, keputusan pembangunan sering dipacu oleh target jangka pendek, seperti pertumbuhan ekonomi cepat atau pencitraan proyek infrastruktur, tanpa memperhitungkan risiko bencana dan kelestarian ekosistem. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah rawan harus menanggung dampak paling besar, sementara kelompok elit dan perusahaan tetap menikmati keuntungan tanpa menanggung risiko kerusakan lingkungan.

BACA JUGA:11 Desa Tangguh Bencana di Lebak, Benteng Pertahanan saat Darurat

BACA JUGA:3 Kota Teraman di Dunia untuk Traveling Tanpa Waswas!

Dampak Sosial dan Ketidak Adilan Ekologis

Kerusakan alam akibat faktor-faktor diatas tidak hanya menimbulkan kerugian materil,, tetapi juga memicu masalah sosial yang serius. Dampaknya mencakup pengungsian massal, hilangnya mata pencaharian, trauma psikologis, serta generasi yang tumbuh dalam rasa takut.

Secara moral dan keadilan, Kelompok yang paling terdampak bencana alam dan kerusakan lingkungan biasanya adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam akses sosial, ekonomi, dan politik, sehingga minim kesempatan untuk melindungi diri atau memanfaatkan sumber daya secara efektif.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: