Ketika mereka mengibarkan bendera One Piece di mobil atau lingkungan kampus, sebagian besar tidak sedang merencanakan pelanggaran hukum.
Mereka sedang menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang mereka pahami dan jalur yang mereka rasa aman.
Fenomena yang Viral dan Sarat Arti
Lonjakan minat terhadap bendera One Piece bukan sekadar fenomena dadakan. Google Trends mencatat peningkatan signifikan terhadap pencarian soal bendera ini sejak Juli 2025, bersamaan dengan peluncuran film One Piece: Red.
Di TikTok dan X (Twitter), tagar seperti #BenderaOnePiece dan #FreedomLikeLuffy mendominasi lini masa, menunjukkan tingginya resonansi emosional yang dibawa simbol ini.
Budaya Jepang memang telah lama memengaruhi anak muda Indonesia.
Data dari Japan Foundation bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penggemar budaya Jepang terbanyak.
Maka tak heran, bendera One Piece mudah diterima sebagai simbol perjuangan personal, bukan sekadar elemen hiburan.
BACA JUGA:Belajar Apapun 100 Kali Lebih Cepat? Ini Cara Ngebut ala The First 20 Hours
BACA JUGA:Penggunaan Gawai pada Anak: Bahaya Nyata atau Sekadar Ketakutan?
Saat Negara Perlu Bersikap Lebih Bijak
Merespons bendera One Piece dengan tuduhan politis bisa jadi merupakan langkah yang terlalu reaktif.
Dalam pemikiran Michel Foucault, kekuasaan yang menekan justru akan memunculkan resistensi dalam bentuk-bentuk simbolik.
Menyikapi ekspresi budaya dengan pendekatan keamanan hanya akan memperbesar jarak antara negara dan warganya, khususnya generasi muda.
Daripada menganggap bendera One Piece sebagai ancaman, negara semestinya menjadikannya bahan dialog.
Di balik simbol itu, ada narasi-narasi keadilan, kebebasan, dan solidaritas yang relevan untuk dibahas bersama.