JAKARTA, INFORADAR.ID - Permohonan pencabutan permohonan pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 31 Januari 2023. Putusan itu dikeluarkan oleh MK berdasarkan ketetapan Nomor 116/PUU-XX/2022.
Didampingi delapan hakim konstitusi, putusan itu dibacakan Ketua MK Anwar Usman di ruang Sidang Pleno MK. “Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” kata Anwar dikutip INFORADAR.ID dari website www.MKRI.ID, Selasa, 31 Januari 2023.
Dikatakan Anwar, sesuai Pasal 34 UU MK, MK telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 5 Desember 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan permohonan para Pemohon. Pemohon tersebut adalah Bonatua Silalahi dan PT Bina Jasa Konstruksi.
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU MK, pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan MK dan Pasal 35 ayat (2) menyatakan penarikan kembali mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) memerintahkan Panitera MK mencatat perihal penarikan kembali permohonan pemohon dalam e-BRPK dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para pemohon.
Berdasarkan RPH pada 12 Januari 2022, pencabutan atau penarikan kembali permohonan perkara Nomor 116/PUU-XX/2022 beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, para pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.
“Setelah sidang pendahuluan, para pemohon menyampaikan dua surat perihal penghentian/pencabutan permohonan melalui email yang masing-masing pada 17 dan 19. Desember 2022. MK telah menyelenggarakan sidang pemeriksaan pendahuluan kedua pada 19 Desember 2022 dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan para pemohon yang dalam persidangan tersebut para pemohon menegaskan mencabut/menarik permohonannya,” ujar Anwar.
Diketahui, pemohon mempersoalkan norma Pasal 1 angka 6 UU12/11 yang menyatakan “Peraturan Presiden (PS) adalah Peraturan Perundang-Undangan (PPU) yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Pemohon juga mempersoalkan Pasal 7 ayat 1 dan Pasal 13 UU P3 beserta penjelasannya. Pemohon mendalilkan UU P3 bermasalah karena tidak menyebutkan sama sekali menambah posisi Peraturan Presiden (Perpres) berbeda dengan UUD 1945. Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya pemberlakuan pasal a quo yang menyatakan Perpres sebagai Peraturan perundang-undangan yang baru dan langsung menempati posisi hierarki lebih rendah dari Peraturan Pemerintah (PP) dan lebih tinggi dari Peraturan Daerah Provinsi dan Pertauran Daerah/Kabupaten Kota berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon terhadap dasar pembentukan Perpres khususnya yang dibentuk atas dasar penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Terkait frasa “atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan” dinilai pemohon mengandung multitafsir. Multitafsir tersebut di antaranya PP boleh dibuat tanpa adanya perintah pelaksanaan dari UU atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain hal tersebut pembentukan perpres juga dapat mengakibatkan terjadinya intervensi bahkan barter kekuasaan antara kekuasaan pemerintah terhadap kekuasaan lainnya dengan adanya pembentukan perpres. Untuk itu, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan perpres bukanlah peraturan perundang-undangan turunan langsung dari UUD 1945, frasa “atau dalam menyelenggarakan pada pasal a quo dihapus, tidak sesuai dan batal demi hukum”.
Editor : Merwanda