Bukan Alam yang Salah, Manusialah yang Harus Bercermin
Potret Ahmad Sihabudin--
Oleh Ahmad Sihabudin, Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Membaca ulang banjir bandang di Tapanuli, sebagaian Aceh, Sumatra Barat, bila kita menyimak media hampir seragam narasinya, selalu terdengar serupa; hujan deras berjam-jam, cuaca ekstrem, volume air sangat tinggi, debit sungai meluap.
Seolah-olah bencana datang karena alam tiba-tiba murka, berubah beringas tanpa alasan yang jelas. Seolah manusia adalah korban tak berdaya dari kekuatan yang tak terduga.
Padahal, jika kita berani menengok lebih jauh ke hulu, secara harfiah maupun batin, ada sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar “hujan lebat”. Ada jejak panjang dari kesalahan, ketamakan, dan pelanggaran berulang yang dibiarkan tanpa koreksi.
Banjir Bandang
Hujan hanya pemantik, bukan penyebab banjir bandang yang menerjang Tapanuli, Aceh, dan Sumatra Barat bukan semata-mata peristiwa hidrometeorologi.
Arus deras yang membawa lumpur, bebatuan, dan tanah bukan hanya produk dari curah hujan tinggi, justru yang mencolok, dan seharusnya menggugah kesadaran kita, adalah gelondongan kayu berukuran besar yang terbawa arus; batang-batang utuh seukuran pelukan manusia, akar-akar besar, dan serpihan kayu yang tidak mungkin berasal dari tumbang alami.
Pertanyaannya, apakah benar pohon-pohon raksasa itu roboh hanya karena hujan? Jawabannya hampir pasti: tidak. Pohon besar tidak rebah begitu saja dalam satu malam. Diperlukan proses panjang untuk merobohkan pohon berkayu keras. Diperlukan tenaga manusia, alat, dan niat.
Kayu-kayu itu tidak berasal dari fenomena alam yang tiba-tiba, tetapi dari aktivitas manusia yang sudah berlangsung lama: penebangan liar, pembukaan lahan, dan pengabaian terhadap keseimbangan ekosistem.
Ketika kayu-kayu itu dibiarkan menumpuk di area hulu, ketika akar-akar yang selama puluhan tahun memegang tanah dicabut, ketika tubuh hutan dilukai perlahan, maka seluruh lanskap pegunungan kehilangan penyangganya.
Hujan ekstrem hanya menjadi pemantik yang menyempurnakan kerusakan yang sudah dibuat manusia. Tanah yang tak lagi punya akar tidak mampu menahan air. Lereng yang gundul melemah. Sungai menjadi saluran raksasa yang membawa bukan hanya air, tetapi segala derita yang kita tanam sendiri.
Hulu yang Luka, Hilir yang Membayar
Bencana selalu jatuh di wilayah yang tidak punya kuasa mengontrol hulu. Masyarakat di hilir, di desa-desa kecil, di bantaran sungai, adalah mereka yang paling terdampak. Rumah hanyut, keluarga terpisah, jembatan putus, sekolah roboh. Mereka tidak pernah menebang pohon di atas sana, tetapi merekalah yang menanggung akibatnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
