Disway Award

Bukan Alam yang Salah, Manusialah yang Harus Bercermin

Bukan Alam yang Salah, Manusialah yang Harus Bercermin

Potret Ahmad Sihabudin--

Bencana ekologi seperti ini adalah potret ketimpangan struktural, yang merusak hulu adalah segelintir orang, yang membayar kerusakannya adalah semua orang.

Kita harus bercermin ”kata Ebiet G Ade” dalam sebuah lagunya, pada apa yang telah kita lakukan termasuk pada alam raya ini. Jangan terlalu mudah para pejabat yang berwenang dalam hal memberikan izin hak pengelolaan hutan, kita harus benar-benar teliti dalam memberikan izin-izin tersebut, apalagi yang berdampak pada hajat hidup orang banyak, terutama hutan rimba raya sebagai penjaga utama ekosistem lingkunan hidup, paru paru tanah kita.

Bukan alam yang beringas, manusialah yang lalai. Cuaca ekstrem memang meningkat akibat perubahan iklim global. Namun perubahan iklim hanyalah salah satu faktor, yang mematikan adalah kerusakan lokal akibat tangan manusia sendiri, sering kali sengaja dilakukan demi keuntungan sekelompok kecil orang.

Di banyak wilayah Indonesia, termasuk Tapanuli, Aceh, dan Sumatra Barat pola yang sama selalu berulang; Penebangan liar yang tak terkendali; Pembukaan lahan tanpa kajian ekologis; Pembiaran oleh aparat dan minimnya pengawasan; Kerusakan sungai yang makin parah

Gajah, Harimau, dan Penghuni Rimba Menjadi Korban

Ketika hutan rusak, yang menjadi korban bukan hanya manusia. Ekosistem runtuh, rantai makanan patah, dan habitat binatang liar hancur. Gajah dan harimau sumatra adalah contoh paling nyata. 

Mereka kehilangan rumah, kehilangan jalur jelajah, kehilangan ruang untuk hidup. Ketika habitat menyempit, konflik dengan manusia meningkat. Gajah masuk ke kebun warga. Harimau turun ke desa. 

Lalu kita menyebutnya “binatang buas menyerang manusia”. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya, kita yang menyerang rumah mereka terlebih dahulu.

Sampai Kapan Kita Menyalahkan Alam? Sudah waktunya kita berhenti menyalahkan hujan. Berhenti menyalahkan cuaca. Berhenti menyebut bencana sebagai “takdir alam”. Kita harus banyak berbenah, yang salah adalah kebiasaan kita sendiri. Terlalu mudah memberikan izin

Bencana ini mengingatkan kita, bukan tragedi lokal. Banjir bandang adalah pesan nasional. Pesan bahwa alam tidak marah, ia hanya memberi peringatan. Bukan alam yang salah. Manusialah yang harus bercermin.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: