Disway Award

Jurus Ngeyel, Ijazah, dan Ketidakpastian Hukum Publik

Jurus Ngeyel, Ijazah, dan Ketidakpastian Hukum Publik

Potret Ahmad Sihabudin--

Penulis : Ahmad Sihabudin (Dosen Komunikasi Lintas Budaya, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)

INFORADAR.ID - Di negeri ini, kata “ngeyel” sering kali menjadi penanda dari dua hal yang saling bertolak belakang: keteguhan atau keangkuhan. Dalam ruang politik kita, “ngeyel” sering bertransformasi menjadi jurus bertahan dari siapa pun yang sedang berada di bawah sorotan publik. Dua artikel saya di media ini juga pernah membahas tema ini dalam sudut pandang religi. Artikel ini coba merefleksikan peristiwa ini yang sudah cukup lama menjadi isu, seolah tidak ada penyelesaian.

Dan kini, ketika tuduhan mengenai keaslian ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia kembali mengemuka, publik pun kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa kebenaran di negeri ini kerap bergantung pada siapa yang bersuara paling keras, bukan pada siapa yang memegang bukti paling sahih.

Kasus tuduhan ijazah palsu yang dilontarkan oleh Roy Suryo kepada Presiden Joko Widodo bukan sekadar peristiwa hukum. Ia adalah drama sosial yang menggambarkan bagaimana masyarakat kita memperlakukan kebenaran sebagai isu yang lentur. 

Meski Bareskrim Polri telah menyatakan bahwa ijazah Presiden Jokowi asli, yakni setelah serangkaian uji dokumen, verifikasi dari Universitas Gadjah Mada, 

dan klarifikasi lembaga terkait, namun perdebatan itu belum usai. Tidak ada tersangka yang ditetapkan, tidak ada kepastian hukum yang dirasakan publik, dan akibatnya, muncul ruang kosong di antara rasa percaya dan rasa curiga.

Dalam ruang kosong itu, masyarakat menjadi gelisah. Mereka tidak tahu harus percaya kepada siapa. Hukum berjalan, tetapi seperti tanpa arah; opini berkeliaran tanpa penuntun. Tuduhan itu, walau telah diuji secara faktual, 

tetap hidup dalam percakapan digital, di warung kopi, di grup WhatsApp, bahkan di media massa. Ada yang secara khusus hampir setiap minggu membahas topik itu, dengan nara sumber yang sama, jadi terkesan ”acara propaganda”.

Mungkin karena masyarakat merasa tidak puas hanya dengan hasil formal, melainkan menunggu sebuah kejelasan moral: siapa yang benar-benar salah, dan siapa yang akan dimintai tanggung jawab?

Di sinilah kita bertemu pada dilema klasik bangsa ini: kebenaran formal versus kebenaran moral. Dalam kasus ini, kebenaran formal telah ditegaskan, yakni ijazah itu asli. Namun kebenaran moral di mata sebagian masyarakat belum menemukan ruangnya. 

Mereka melihat proses hukum yang berhenti di tengah jalan, tanpa tersangka, tanpa penyelesaian. 

Padahal dalam logika publik, jika tuduhan itu fitnah, semestinya ada konsekuensi hukum; jika tuduhan itu benar, semestinya ada pembuktian lanjutan. Ketika dua-duanya tidak terjadi, yang muncul adalah ketidaknyamanan kolektif. Ketidaknyamanan itu bukan hanya soal presiden, bukan pula soal Roy Suryo. Ia soal kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan keadilan. 

Setiap kali hukum gagal memberi kepastian, setiap kali kebenaran tergantung pada tafsir politik, di sanalah demokrasi kehilangan maknanya. Sebab demokrasi tidak hanya berdiri di atas hak berbicara, tetapi juga di atas tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran secara jujur.

Dalam konteks ini, “ngeyel” tidak lagi menjadi sekadar gaya bicara, tetapi cermin dari krisis epistemik: siapa yang berhak menentukan kebenaran? Apakah negara, lembaga hukum, media, atau netizen? Ketika ruang publik dibanjiri informasi yang bercampur antara data dan prasangka, kita membutuhkan kebijaksanaan baru: kemampuan membedakan antara perdebatan dan perpecahan, antara kritik dan tuduhan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: