Disway Award

Madilog dan Misi Tan Malaka Melawan Kebodohan Massal

Madilog dan Misi Tan Malaka Melawan Kebodohan Massal

Tan Malaka-Istimewa -

INFORADAR.ID - Di rak buku para peminat sejarah dan filsafat Indonesia, nama Madilog sering muncul sebagai "buku penting yang bikin pusing." Banyak orang tahu ini adalah karya besar Tan Malaka, tapi saat mulai membacanya, tak sedikit yang menyerah di halaman-halaman awal. Bahasa rumit, istilah berat, dan pemikiran yang padat membuat Madilog lebih sering jadi pajangan daripada bahan renungan.

Namun di balik “keribetan” itu, tersimpan gagasan yang luar biasa kuat. Madilog bukan sekadar buku filsafat, tapi panduan cara berpikir yang bisa membuat seseorang jadi lebih cerdas, lebih skeptis, dan lebih tahan terhadap manipulasi. Tan Malaka menulis buku ini di tengah penjajahan Jepang tahun 1943, saat rakyat Indonesia masih dikuasai bukan hanya secara politik, tapi juga secara pikiran.

Nama Madilog sendiri merupakan singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tiga kata ini adalah senjata utama Tan Malaka untuk membangun pola pikir kritis dan rasional bagi bangsa Indonesia yang pada saat itu masih sangat percaya pada tahayul, mitos, dan dogma irasional.

Banyak orang pada masa itu menganggap gagal panen sebagai akibat kemarahan roh nenek moyang, atau kemiskinan sebagai takdir ilahi yang tak bisa diubah. Tan Malaka melihat ini sebagai bahaya besar. Ia percaya, selama rakyat berpikir irasional, maka penjajahan dalam bentuk apa pun akan terus terjadi.

BACA JUGA:Kejari Pandeglang Raih Penghargaan dari Wamenhut untuk Komitmen Perlindungan Satwa Langka

BACA JUGA:Aksi Gubernur Andra Soni Susuri Sungai Cibanten 5 Km, Netizen Soroti Gaya ‘Aura Farming’

Materialisme dalam Madilog bukan berarti mencintai harta atau duniawi. Ini adalah ajaran untuk memahami dunia berdasarkan fakta nyata, bukan kepercayaan buta. Bagi seorang materialis, hujan bukan karena dewa marah, tapi karena proses kondensasi di atmosfer. Negara miskin bukan karena rakyat malas, tapi karena sistem ekonomi yang tidak adil.

Lalu ada Dialektika, ilmu tentang perubahan. Tan Malaka mengadopsi pemikiran Karl Marx dan Hegel bahwa segala sesuatu dalam dunia berkembang lewat kontradiksi. Tesis bertemu antitesis, lalu melahirkan sintesis. Inilah logika perubahan sejarah. Dulu ada feodalisme (tesis), muncullah perlawanan rakyat (antitesis), dan lahirlah demokrasi (sintesis). Dunia terus bergerak dan manusia harus siap menyesuaikan cara berpikirnya.

Elemen terakhir adalah Logika. Inilah fondasi cara berpikir rasional. Tan Malaka mengajarkan pentingnya memeriksa argumen, mencari bukti, dan mengenali sesat pikir atau logical fallacy. Contohnya, jangan percaya orang sukses tak perlu sekolah hanya karena beberapa miliarder drop out. Korelasi bukan berarti sebab-akibat.

Madilog membekali pembacanya dengan kemampuan menyaring informasi, menolak hoaks, dan menyusun pendapat berdasarkan fakta. Di era sekarang yang penuh dengan kebisingan media sosial, kemampuan ini lebih penting dari sebelumnya.

BACA JUGA:Perkuat Eksistensi, Rumah Debat Gelar Audiensi dengan Wakil Walikota Serang

BACA JUGA:‎Bikin Es Kopi Susu Aren di Rumah ala Kafe

Yang membuat buku ini luar biasa adalah keberanian Tan Malaka menulisnya di masa perang. Saat orang lain sibuk bertahan hidup, ia justru memikirkan cara agar bangsanya bisa merdeka secara pikiran. Ia tahu, kemerdekaan sejati bukan cuma soal lepas dari penjajah, tapi juga bebas dari kebodohan dan ketidaktahuan.

Ironisnya, Tan Malaka adalah salah satu tokoh paling disalahpahami dalam sejarah Indonesia. Ia revolusioner, cerdas, dan visioner, tapi hidupnya tragis. Ia dikejar-kejar, dipenjara, hingga akhirnya dieksekusi oleh bangsanya sendiri. Namun, pikirannya tetap hidup terutama lewat Madilog.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: